Riuh kondisi pasar tak cukup mengganggu Kaia. Dengan dua plastik besar belanjaan di tangan kanan dan kiri, perempuan itu tetap gesit mengikuti langkah sang ibu menyalip beberapa orang yang jalannya kelewat siput menurut Kaia.
"Ibu mau beli apa lagi habis ini?" bisik Kaia sewaktu jalan mereka terhambat laki-laki dengan gerobak penuh. Pasar tradisional memang selalu seperti ini, harus sabar.
"Beli kardus buat wadah snack, abis itu pulang." Berhasil mencari celah, mereka kembali berjalan cepat dan berakhir berhenti di toko keperluan hajatan.
"Badhe mundhut nopo, Buk?" tanya seorang karyawati. (Mau beli apa, Bu?)
"Kardus kecil yang buat bungkus snack yo, Mbak. Tujuh puluh saja."
"Nggih, Buk. Ditunggu, nggih." Karyawati itu langsung pergi ke dalam, mengambilkan stok kardus yang diminta ibu Kaia.
Setelah meletakkan belanjaan di tangannya ke lantai barang sebentar, Kaia bertanya, "Loh, bukannya Bapak dapat jatah ngaji rutinannya masih minggu depan, Bu? Kok udah beli sekarang?"
Perempuan paruh baya itu menoleh. "Nyicil, Kai. Kalau beli sekali nanti susah bawanya. Lagian kamu kan nggak selalu ready buat nganterin. Jadi kalau pas Ibu butuh dikit-dikit bisa berangkat ke pasar dan bawa belanjaannya pakai motor sendiri."
Kaia hanya mengangguk. Memang, sih, ia tidak akan selalu siap 24 jam. Sekalipun di rumah, biasanya ia akan sibuk mengejar deadline dari satu tugas ke tugas yang lain. Mungkin sang ibu akan segan juga kalau harus memotong waktu kerja Kaia.
"Monggo, Buk. Sudah itu saja?" Karyawati kembali dengan setumpuk kardus sejumlah pesanan.
"Iya, Mbak. Itu saja dulu. Berapa totalnya?"
"Jadi Rp49.000,00 Buk."
Ibu Kaia menyerahkan selembar uang berwarna biru. Setelah mendapat kembalian, mereka langsung pergi ke parkiran motor.
Usai menata belanjaan di atas motor agar memudahkan dibawa, wanita paruh baya itu berkata, "Duh, Kai. Ada yang kelupaan dibeli. Kamu tunggu sini aja, biar Ibu balik ke dalam bentar."
Anggukan diberikan Kaia sebagai respons. Bukannya tak mau membantu sang ibu dengan menawarkan diri untuk membeli, pasalnya Kaia tak hafal denah pasar. Setelah direnovasi beberapa bulan lalu, pasar di kecamatannya sangat banyak berubah. Para pedagang yang kadung dihafalnya rata-rata berpindah lapak yang letaknya Kaia tak tahu, terlebih ia lumayan jarang ke pasar.
Membuka HP sembari menunggu, Kaia mendapati beberapa notifikasi. Rata-rata dari medsos yang jarang dibuka, beberapa pesan grup WhatsApp, dan beberapa chat pribadi semalam yang sengaja belum dibuka karena dianggap tak penting.
Namun, mata Kaia fokus tatkala menemukan salah satu nama teman lamanya di bilah notifikasi. Tumben.
Ia membuka pesan tersebut. Tertulis di sana, "Kai, lo unfollow Ig gue, ya? Apa jangan-jangan malah diblokir?"
Mata Kaia memicing dengan alis tertaut. Dibacanya sekali lagi pesan itu, masuk beberapa menit lalu. Pertanyaan yang cukup aneh mengingat sudah sangat lama mereka tidak berinteraksi selain menonton story di aplikasi WhatsApp. Toh, Kaia memang agak membatasi komunikasi dengan lelaki bernama Ihya' itu sejujurnya. Karena suatu alasan.
Satu kata Kaia kirimkan sebagai balasan, "Nggak". Memang, untuk apa memblokir medsos seseorang? Kaia tak akan seluang itu. Toh ia memang tipikal orang yang lumayan masa bodoh. Daftar followers saja ia tak menahu, apalagi untuk mengurusi satu akun yang tak akan memberinya impact apa pun. Kalau kata Kaia, wegah.
Satu pesan kembali datang dari orang yang sama. "Kok gue udah nggak pernah lihat Ig story lo? Lo juga nggak pernah kelihatan lihat Ig story gue."

KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
General FictionMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...