"Hah?" Jari-jari Kaia seketika terhenti, kembali menoleh pada lelaki di samping. Dengan pangkal alis tertaut kali ini. "Jalan? Kenapa?"
"Kok kenapa, sih?" Baiklah, Ugra lupa jika Kaia tak suka pergi tanpa alasan dan tujuan yang jelas. Perempuan itu bahkan tak segan menolak mentah-mentah ajakan anak-anak lain yang sekiranya hanya membuang-buang waktunya yang sangat berharga itu. "Refreshing, Kai. Lo nggak jenuh apa sama kesibukan-kesibukan ini? Organisasi, kerjaan, apalagi lo ngajar yang gue yakin pasti ada lah satu dua anak yang bikin stress."
"I don't think I am, sih," balas Kaia santai, "lagipula kalau gue butuh jeda, gue cuma perlu tidur atau baca buku yang masih numpuk di rak dan emang belum kebaca."
Ugra sukses menjatuhkan rahang, Kaia benar-benar. Sejak kapan membaca buku bisa membunuh penat, yang ada tambah stress kalau dirinya. Ditambah, Ugra tahu betul apa tipe bacaan favorit Kaia juga buku apa yang menjadi koleksi perempuan itu selama ini.
"Ayolah, Kai. Be a normal person sesekali! Refreshing yang bener-bener refreshing, bukan tidur atau baca buku," bujuk Ugra.
Dengan tatapan penuh selidik, Kaia melontarkan tanya, "Beneran refreshing? Bukan kedok doang, kan?"
"Kedok gimana maksudnya?"
"Ya kedok, kan selama ini lo ngajak pergi paling cuma buat bahas organisasi, program kerja, konsep acara, evaluasi. Nggak jauh-jauh dari itu. Kalau ini lo ngajak refreshing tapi ntar yang lo jadiin topik ngobrol ke sana lagi ke sana lagi, mending gue skip aja. Kayak kata lo, be a normal person. Bukan badannya refreshing tapi pikirannya ke mana. It sounds like a terrible choice."
"Oke, sepakat!" balas Ugra cepat, "beneran jalan kali ini, nggak ada embel-embel organisasi, gue jamin."
"Oke, lo yang tentuin waktunya, tapi jangan mendadak juga biar gue bisa atur jadwal."
"Sip, tapi kita mau ke mana?"
Mata Kaia kembali berkilat tajam. "Jangan bikin gue senewen, Gra. Lo yang ngajak, loh."
Ugra melotot, tak mau kalah. "Iya-iya, santai, kek. Becanda doang gue. Ntar gue tanya si Iqbal tempat yang recommended."
"Tapi ya jangan bilang juga kalau lo mau pergi sama gue," peringat Kaia.
"Iya, paham. Males jadi bahan gosip kan, lo?"
Kaia hanya membalas dengan mengedikkan bahu tak acuh, lalu kembali pada sisa pekerjaan.
Tepat pukul 11.30 yang dikerjakan Kaia usai, hanya tinggal menambahi kata pengantar juga daftar isi sebelum dikirim. Syukurlah, ia tak harus lembur malam ini, seperti kekhawatirannya tadi. Ia ingin balas dendam tidur nanti malam.
"Udah selesai?" tanya Ugra.
Kaia sampai hampir lupa bahwa pemuda berkulit hitam manis itu masih di sana. Pasalnya, Ugra benar-benar diam setelah percakapan terakhir kali, menunggui Kaia dengan tenang. Perempuan itu hanya membalas pertanyaan Ugra dengan anggukan pelan.
"Ya udah, gue balik dulu. Abis ini langsung kirim file yang tadi, biar langsung gue print." Ugra bangkit.
"Lah, lo masih di sini dari tadi cuma buat nungguin gue selesai?"
Giliran Ugra yang mengangguk.
"Berdedikasi banget hidup lo mau nemenin gue kerja," lanjut Kaia, masih tak habis pikir.
"Daripada gue di rumah, nggak punya temen."
"Biasanya juga lo nongkrong sama Dimas, Iqbal, Ibnu, sama anak-anak lain kalau lagi free."
Ugra memutar bola mata malas. "Lo lupa ini hari Minggu? Iqbal sama Dimas pada kencan sama pacar masing-masing, lah. Si Ibnu paling lagi ngaji di pondoknya Habib."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
General FictionMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...