Bab 30 (Ending)

91 18 5
                                    

Sore hari, karena ini hari Jumat, Kaia bersantai sehabis mandi dan ibadah Asar tadi. Menikmati bacaan yang sebelumnya masih tersegel di atas rak buku, juga alunan lagu-lagu milik Payung Teduh. Duduk di kursi kamar yang sengaja dihadapkan ke jendela, Kaia berselonjor kaki, menumpu pada pinggiran jendela yang cukup nyaman.

Buku bersampul merah karya Nawal El Saadawi: Perempuan di Titik Nol sudah menjadi read-list Kaia sejak beberapa minggu lalu. Baru ini ada waktu luang untuk membaca, tepatnya baru niat. Menyelami lagi nilai-nilai feminisme yang sudah lumayan lama tak ia jamah sejak sibuk pada organisasi. Meskipun pada praktiknya, Kaia tetap menerapkan nilai-nilai itu sebisa mungkin.

Belum disentuhnya ponsel sama sekali sejak tangannya memegang buku, dibiarkan ponsel itu dalam keadaan hening dan data mati. Ia tak mau diganggu.

Semua baik-baik saja sampai sebuah ketukan dan ucapan salam mampir di pintu rumah. Sebuah suara yang sangat familiar di telinga Kaia. Memastikan sekali lagi, Kaia masih di posisi semula. Kembali terdengar dan kali ini sukses membuat perempuan itu bangkit serampangan, langsung berlari ke arah lemari. Diambilnya cardigan dan jilbab instan sembarang lalu memakainya cepat.

Buru-buru keluar, jari kelingking Kaia terantuk pinggiran pintu, meringis seketika seraya berjingkat. "Aduh!"

Membuka pintu depan masih dalam keadaan kesakitan, Kaia membuat si tamu mengerjap dengan satu alis tinggi terangkat.

"Kenapa lo?" Dilihatnya ke arah Kaia mengusapkan tangan.

"Gara-gara lo, kelingking gue nabrak pintu," omel Kaia, "lagian ngapain sih, ke sini nggak pake bilang-bilang? Kan gue kaget."

"Gue udah telepon lo berkali-kali ya, cuma connecting. Gue chat centang satu, salah gue?" balasnya tak mau kalah.

Kaia mendesis seraya memutar bola mata malas. "Terus ngapain lo ke sini, Ugra? Gue nggak ngerasa ada urusan organisasi sama lo yang belum kelar. Ganggu me time gue tahu, nggak!"

Decakan lolos dari bibir lelaki berkaos hitam itu. "Jangan ketus-ketus sama gue, Kaia. Sumpah, nggak enak didengernya."

Bagaimana tak ketus, tak tahu saja lelaki itu apa yang dialami Kaia karena dirinya. Lagipula, kedatangan Ugra sungguh membuatnya tak nyaman. Untuk apa jika mereka tak punya urusan organisasi?

Embusan napas panjang lolos dari bibir gadis itu. Berujar lebih lembut, "Fine, ada apa lo ke sini?"

"Lo free, kan? Ke pantai, yuk!"

Sumpah, ekspresi Kaia langsung seperti orang bingung, setengah tak habis pikir. Apa mau Ugra sebenarnya? Apa ia tak sadar dengan status?

"Ngapain?" tanya Kaia, kembali sengit.

"Just, enjoying the sunset?" Bukan jawaban, Ugra lebih seperti bertanya.

Meski begitu, ia tahu ada yang ingin disampaikan lelaki itu. Tampak juga dari sorot matanya yang sayu, Kaia paham ada yang menjadi beban pikiran Ugra.

"Oke, bawa motor sendiri-sendiri tapi, ya." Kaia mengalah, sekali ini saja, pikirnya.

Sedikit binar senang tertangkap netra Kaia, juga senyum Ugra yang terbit. Lelaki itu mengangguk.

"Thanks."

Tak jauh, mereka hanya ke pantai dekat rumah Kaia, hanya memakan waktu tiga menit perjalanan dengan motor. Sampai di sana, sengaja Ugra memilih spot di mana mereka bisa melihat sunset dengan leluasa. Kaia tak protes sekalipun mereka singgah di warung yang pedagangnya Kaia kenal betul. Seorang ibu dari teman ngajinya dulu.

"Owalah, Mbak Kaia," ucap wanita berjilbab instan cokelat itu.

"Inggih, Bu." Kaia tersenyum lebar, tak terganggu meskipun wanita itu memperhatikan Ugra lekat kini, menyimpan rasa penasaran yang kental.

Arundaya KaiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang