Bab 16

91 19 6
                                        

"Mbak, tolong buatin caption buat postingan Ig organisasi, dong." Begitu isi pesan dari Iqbal yang muncul di notifikasi ponsel Kaia beberapa menit lalu.

Sudah biasa, mereka berdua sejatinya berada di departemen yang sama, Dakwah dan Komunikasi. Sesuai jobdesk sejak zaman entah kapan, departemen mereka kebagian mengelola akun medsos, membuat konten, dan memublikasikannya sebagai bahan branding organisasi. Jika Iqbal kebagian edit-edit gambar, Kaia mendapat tugas membuat caption yang selaras, sedang anak-anak lain membantu memikirkan konten selanjutnya. Ya, beberapa tetap ada yang hanya numpang nama, sih.

Cukup lima menit caption yang diminta Iqbal selesai Kaia pikirkan. Langsung ia mengirimnya pada lelaki itu. Basic menulis yang memang sudah Kaia kuasai sejak lama cukup membantu dalam hal ini. Ini pula yang membuat Kaia berpikir dua kali untuk mengiyakan tawaran Nadiya. Ia malas memikirkan konten, double. Lagipula, ia ini kan bukan anak medsos, hampir gaptek malah. Cara live Instagram saja tidak tahu, makanya urusan medsos ranting Kaia menyerahkannya ke Iqbal. Ia memilih pusing observe sana-sini untuk konten dan caption. Urusan posting-memposting, ia angkat tangan.

Satu lagi pesan datang ke WhatsApp-nya, kali ini dari Danar. Rumah mereka memang dekat, hanya butuh beberapa langkah untuk sampai ke rumah satu sama lain, tetapi tentu keduanya tak mau repot-repot membuang tenaga. Berkirim pesan atau telepon jika butuh sesuatu sudah pasti akan lebih mudah.

"Mbak, nanti malam free, nggak?" Begitu yang tertulis.

Sejenak Kaia menaikkan sebelah alis tinggi. Ia membatin, "Ada apa, nih? Perasaan nggak ada jadwal rapat atau semacamnya."

"Free, kenapa?" balas Kaia pada akhirnya.

"Ikut gue ya, nongkrong sama anak-anak. Mereka ngajak ngopi, suruh ngajak lo."

Sontak bola mata Kaia memutar. Sudah biasa. Tak peduli dengan alasan apa, Kaia memang sering diajak-ajak begitu oleh Danar. Bukan, lebih tepatnya, anak-anak yang dimaksud Danar yang meminta agar lelaki itu mengajak Kaia ikut serta. Paling juga Iqbal CS, plus Ugra sudah pasti.

"Bahas apa kali ini?" Sejujurnya, Kaia agak malas keluar, jadi setidaknya, ia bisa menjadikan jawaban Danar sebagai alasan ketidakikutan nantinya.

"Nggak tahu juga, sih. Cuma bilang ngopi, tapi emang usulannya Mas Fajar."

Kaia mengangkat alis tinggi, Fajar? Mustahil kalau hanya ngopi, lelaki itu pasti ada niat terselubung. Ia pasti butuh membicarakan sesuatu tetapi tak mau tampak formal di mata yang lain, makanya begitu.

Ketimbang penasaran, akhirnya Kaia mengiyakan. Pupus sudah rencana tidur sebelum jam sembilan.

-o0o-

Sambil menenteng charger dengan kabel gepeng berwarna biru, Kaia yang baru datang pukul setengah sembilan malam langsung bergabung dengan mereka yang sudah stay sejak satu setengah jam yang lalu. Tak bersama Danar yang berangkat lebih dulu, Kaia memilih ikut panglipur di rumah tetangga Kristiani yang dua hari lalu meninggal, baru berangkat. Wujud ramah tamah dengan tetangga. Danar sih memang begitu, agak-agak anti sosial, apalagi dengan tetangga.

Charger yang dibawanya sendiri bukan untuk ponselnya, milik Kaia masih full baterai, melainkan titipan Ugra. Pinjam katanya.

Begitu duduk di samping Ugra, ia langsung menyerahkan charger tersebut. Percayalah, memang tak ada tempat lain dengan ruang tersisa untuk Kaia duduki selain di sebelah Ugra.

"Dari mana aja, Mbak? Tumben baru nyusul, biasanya paling gasik." Rindi si anak ranting sebelah bertanya, tangannya masih memegang handle mug berisi cokelat panas pesanan.

Arundaya KaiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang