120 halaman sehari, rasanya Kaia ingin merutuk atas kesalahannya mengalkulasi. Naskah antologi cerpen 486 halaman itu baru saja dikirim pukul 21.00 WIB oleh perwakilan penerbit yang menggajinya sebagai editor. Diberi deadline sampai hari Minggu sedangkan ini sudah Kamis malam dan Kaia iya-iya saja tanpa berpikir panjang. Luar biasa, alamat tak tidur sampai hari Minggu mengingat bagaimana jadwalnya. Tak apalah, ini bisa menjadi pengalih pikiran yang carut-marut sejak obrolan bersama kepala madrasah tadi.
"Ini kenapa tanda baca dialog tag hancur semua astaga," gerutu Kaia, "mata gue bisa juling lama-lama."
Ciri profesionalitas, meskipun mengeluh dan sambat, tetapi tetap dikerjakan dan tuntas tepat waktu. Prinsip yang dipegang Kaia agar tak stress-stress amat menghadapi kerjaan yang terkait puluhan ribu kata itu. Demi tambahan uang jajan, juga gaya tak tahu diri adiknya yang suka-suka tiba muncul dari balik pintu kamar dan nyadong—menengadahkan tangan meminta uang.
Tiga jam nonstop duduk menghadap layar laptop dengan jari tak sama sekali beristirahat, ponsel Kaia bergetar. Meregangkan tubuh sebentar sebelum meraih ponsel di rak atas meja depan pigura besar. Bukan berisi foto, melainkan hanya kaca kosong yang sengaja digunakannya untuk menulis to do list mingguan.
Melihat nama yang terpampang, dahi Kaia mengernyit. Melihat sekali lagi sudah jam berapa sekarang, setengah satu dini hari. "Ngapain nih anak telepon jam segini?" gumamnya.
Kaia langsung mengangkat panggilan, mendekatkan ponsel ke telinga.
Belum sempat menyapa, ia sudah lebih dulu diserobot, "Udah gue duga lo belum tidur."
"Kenapa telepon? Nggak tahu lo ini tengah malem?" sembur Kaia, tak lagi berniat bicara sopan.
"Yang penting kan lo belum tidur, jadi gue nggak ganggu lo," balas seseorang di seberang santai.
"Nggak ganggu gimana? Gue kerja ini, ngejar deadline. Lo malah telepon." Kaia mengapit ponsel di antara kepala dan bahu, tangannya kembali sibuk di papan tik.
Decakan keras lolos. "Lo tuh kebiasaan, Kai. Kerja inget waktu, kek. Sakit tahu rasa lo."
"Telepon inget waktu, kek. Gue blokir tahu rasa lo." Sengaja Kaia menggunakan templat kalimat yang sama, hingga mengundang desisan orang di seberang. "Buruan, Gra. Ada apa lo telepon malam-malam gini? Asli, gue kejar tenggat banget ini."
"Nggak ada sih, insom aja." Jawaban santai Ugra langsung membuat jari Kaia berhenti mengetik seketika, sebelum mengepalkan tangan kuat.
"Gra, lo tahu nggak, kalau banyak jasa santet online sekarang? Manjur nggak manjur, kayaknya boleh juga gue coba ke lo. Sumpah."
Di sana, tawa Ugra berderai. Rencananya menggoda Kaia berhasil.
"Udah ah, gue tutup. Cuma perkara insom doang, ganggu lo." Kaia berdecak keras.
"Eh, eh, jangan ditutup, Kai. Insom sendirian nggak enak tahu, bawannya jadi pengen ovt. Gini deh, lo biarin aja ini telepon tetep nyambung, taruh HP lo di samping laptop atau di mana kek, terus di-loud speaker. Lo lanjut kerja, nggak ngomong juga nggak apa-apa, dengerin gue ngoceh aja. Seenggaknya gue nggak kesepian amat dengerin lo ngetik."
"Ada ya, cowok seaneh lo?" cibir Kaia, memilih menuruti perkataan Ugra. Diletakannya ponsel di atas laptop, disandarkan pada layar monitor.
"Kalau nggak aneh, nggak mungkin gue bisa temenan sama lo."
Sialan! Jadi maksudnya Kaia aneh? Lelaki itu benar-benar.
Perempuan itu benar-benar membiarkan panggilan tetap tersambung. Ugra tak berhenti membicarakan banyak hal dan hanya ditanggapi Kaia sesekali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
Fiction généraleMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...