"Kayaknya itu nggak bakal efektif, deh," bisik Kaia pada Balqis, perempuan bermata belo di sampingnya. Masih sembari mengeluarkan kemampuan multitaskingnya, sambil mendengarkan cermat argumen seorang lelaki yang tengah bicara di depan sana, Kaia kembali berbisik, "Abis dia ngomong, lo sanggah, ya?"
Tak langsung mengatakan apa argumennya, Kaia memilih lebih fokus mendengar penjelasan Fajar guna mnenemukan lebih banyak bahan untuk menyanggah. Balqis pun tak ambil pusing, perempuan yang setahun lebih muda dari Kaia itu manggut-manggut, ikut mempelajari argumen yang tengah dilontarkan. Bukan hal bagus jika menembakkan amunisi yang diberikan Kaia nanti sedang ia tak menguasai topik yang dibicarakan.
"Jadi, buat ngakalin efektivitas waktu, sie acara bisa buat dua tentatif berbeda. Yang sesuai sama ketentuan pusat dalam hal batas minimal waktu pemberian materi, satu lagi yang sesuai sama alokasi waktu yang memang kita punya. Soalnya, kita ada beberapa materi yang harus disampaikan, sedangkan dalam waktu dua hari yang kita rencanain, agenda kita bukan pemberian materi doang. Nggak bakal kekejar waktunya."
Cepat Kaia berbisik di telinga Balqis saat menyadari Fajar tak lagi ada niatan berbicara.
"Gimana menurut kalian? Sie acara?" Fajar menatap mereka yang tergabung dalam sie acara bergiliran, termasuk Kaia.
"Sorry sebelumnya, Mas Fajar." Balqis mulai bersuara setelah Kaia kembali duduk bersandar pada dinding. "Untuk apa kita buat dua tentatif berbeda padahal pada intinya tentatif adalah sesuatu yang bisa diubah menyesuaikan sikon? Sama aja dengan kita buat dua rencana yang sama-sama nggak pasti. Bukannya malas buat, tapi itu malah nggak efektif di kita sebagai sie acara. Apalagi kalian juga bebanin pendataan sarana prasarana yang dibutuhin selama dua hari full ke sie acara sebelum pengadaannya diserahin ke perlengkapan."
Seorang lelaki di samping Fajar diam-diam menghunuskan tatapan laser pada Kaia yang sama sekali tak merasa terganggu. Pemuda berkemeja navy itu sedikit memiringkan kepala, sebelum menarik satu ujung bibirnya ke atas. "Coba suruh Kaia yang ngomong langsung!" tembaknya.
Desisan langsung lolos dari bibir perempuan si empu nama yang baru saja disebut. Bukan apa-apa, masalahnya tatapan semua orang tengah terarah padanya saat ini, memandangnya seolah baru menyadari keberadaan perempuan itu. Wajar saja, sejak tadi, ia hanya diam, sebisa mungkin menyembunyikan diri di balik tubuh Balqis yang cukup berisi.
"Gimana, Kai? Ada yang mau lo sampaiin?" tanya pemuda yang sama, "barangkali Balqis belum sepenuhnya menyuarakan isi kepala lo."
Sungguh, detik ini ia akan menganggap lelaki bernama Maula Ugra Hayyin sebagai musuhnya.
Berada pada posisi tak menguntungkan, Kaia memilih bersuara. Ia tak mau lebih lama menjadi pusat perhatian dan pemantik asumsi lebih jauh. Ugra sialan!
"Daripada buat dua rundown acara yang sifatnya sama-sama tentatif, kenapa kita nggak negosiasi sama pusat sejak awal terkait lama pemberian tiap materi? Biar langsung jelas. Toh percuma kita buat dua rundown sekaligus cuma buat ngakalin pihak pusat kalau pematerinya aja dari sana langsung, mereka tetap nggak bakal bisa kita tipu. Kita yang bego namanya.
"Kalau sejak awal kita negosiasi baik-baik, kasih mereka argumen yang tepat sasaran, gue yakin mereka bakal acc jadwal yang kita ajuin. Apalagi alasan kita laksanain acara ini cuma dua hari sangat-sangat masuk akal. Menyangkut kaderisasi nggak bisa diatur pakai paksaan dan sekali tembak, harus step by step. Apalagi kita tahu sendiri gimana situasi di sini. Bukannya bisa gaet anggota, kader kita malah bisa kabur kalau kayak gitu."
Salah satu alasan yang membuat Kaia jarang bicara, ia sarkas, kalimatnya lebih sering tajam. Ia ingin menghindari kemungkinan menyakiti lawan bicaranya, siapa pun itu.
Satu lagi alasan yang membuat Kaia selalu mati-matian menahan diri agar tak bicara banyak adalah, "Kalau kalian masih mau maksain buat dua rundown nggak jelas itu, sorry, buat aja sendiri. Gue pribadi, sebagai anggota sie acara, nggak mau buat. Buang-buang waktu."
Ya, ancaman. Sayangnya, ancaman Kaia tak pernah gagal pada siapa pun. Ia tak mau membuat lebih banyak orang merasa segan padanya.
Semua yang ada di sana menipiskan bibir mendengar penuturan final Kaia, tak ada yang berniat menyanggah.
"Oke kalau gitu. Gimana yang lain?" Fajar kembali mengambil alih. Tak mendapati tanda-tanda mendapat tanggapan, ia melanjutkan, "Karena gue rasa omongan Kaia ada benernya, nanti gue coba nego sama Pimpinan Cabang dulu, deh. Tapi misal gue nggak mencapai kesepakatan sama mereka, gue tetep bakal nyeret lo langsung buat kasih argumen ke mereka ya, Kai."
Mau bagaimana lagi?
Melanjutkan bahasan ke topik selanjutnya, Kaia mulai dibuat risih oleh tatapan Ugra yang tak beralih sedikit pun darinya. Sengaja Kaia balas menatap lekat pemuda yang berada tepat di seberang, menaikkan satu alis tinggi.
Kaia tak mungkin salah lihat, lelaki itu berucap tanpa suara, tertangkap jelas pula apa yang dilafalkannya. "Welcome to the world!"
-o0o-
Pelan-pelan, you will find banyak karakter temen-temenku di sini, terutama si annoying Ugra yang lumayan red-flag di samping isi otak dan pengabdiannya yang kuakui luar biasa.
Amaranteya
16th of Oct 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
Ficción GeneralMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...