"Loh Kai, di sini juga?" Fian membulatkan mata mendapati teman SMA-nya yang satu itu berdiri seperti orang linglung di Angkringan Teras.
Mendengar namanya disebut oleh suara tak asing, Kaia yang semula memandang sekeliling terlonjak mendapati Fian. Tak hanya teman sekelasnya zaman sekolah itu, Kaia juga menemukan wajah-wajah tak asing di sana, duduk mengelilingi empat meja persegi yang sengaja digabung. Mereka semua sohib Fian semasa sekolah, teman nongkrong sekaligus teman bolos pemuda itu dulu. Incaran guru BK.
"Oh, kalian di sini juga."
Kaia tak mungkin tak mengenal mereka. Cowok-cowok famous representasi dari kelas IPA 2 sampai IPS 5. Selain keluar masuk ruang BK, Fian dan kawan-kawan juga terkenal karena tergabung dalam grup band sekolah.
"Gabung sini, Kai," ujar Rifan, mantan Pradana Pramuka angkatan mereka dulu. Lelaki bongsor itu jelas mengenal Kaia dengan baik mengingat sudah beberapa kali ia diajak nongkrong Fian bersama perempuan itu. "Atau lo janjian sama seseorang?"
Kembali pandangan Kaia menyapu sekeliling, mencari sosok yang mengajaknya bertemu malam ini. "Ada yang lihat Wafin?" tanyanya.
Tentu saja Kaia tak ragu menyebut nama yang satu itu, mereka juga mengenalnya. Wafin adalah ketua OSIS mereka yang akhir-akhir ini baru Kaia tahu juga tergabung dalam geng ini.
"Oh, lagi ke toilet. Sini aja dulu," balas Farel.
Alhasil, Kaia ikut bergabung bersama delapan lelaki yang ada di sana, duduk di kursi kosong dekat Farel.
Canggung? Sepertinya tidak, meskipun dulu ia terkenal sebagai anak yang jarang bergaul dengan anak-anak dari kelas lain, tetapi tidak setelah lulus. Pertama kali Fian mengajaknya ngopi, ternyata lelaki itu juga mengajak rombongannya, otomatis Kaia jadi ikut akrab dengan mereka. Pandangan Kaia terhadap anak-anak terkenal trouble itu pun berubah 180 derajat. Mereka bukannya nakal, hanya memiliki prinsip. Rupanya juga mereka orang-orang yang asyik dan friendly, padahal dulu circle mereka terkenal tak tertembus.
Petikan gitar langsung terdengar begitu Fian memainkan alat musik yang satu itu. Sebuah lagu milik Peterpan—Noah sekarang—yang Kaia tak tahu apa judulnya. Suasana tongkrongan yang semula biasa saja, berubah penuh nyanyian dari anak-anak itu, suara merdu Fian yang mendominasi, mengingat dulu ia seorang vokalis.
"Makin sibuk aja sekarang lo, Kai," celetuk Farel, masih diiringi nyanyian Fian bersama anak-anak lain yang memelan. "Makin jarang nongkrong sama kita-kita."
"Biasalah, organisasi. Gue aktif jadi pelayan umat sekarang." Kaia mengakhiri ucapannya dengan kekehan. "Emang kalau gue sering-sering nongkrong, lo mau traktir gue?"
"Lah emang selama lo hang out sama kita, lo pernah bayar?" sindir Fian, yang langsung menghentikan permainan gitarnya.
Kaia meringis, disusul tawa anak-anak itu. Mereka semua setuju dengan ucapan Fian. Memang, saat bersama mereka, Kaia tak pernah membayar, mereka yang bergiliran mentraktir perempuan itu. Bukannya pelit, justru Kaia tak pernah diizinkan membayar minuman dan makanannya sendiri. Biasa, lelaki dan egonya.
"Kan kalian yang maksa bayarin," ucap Kaia tak acuh pada akhirnya.
"Kapan sampai, Kai?" Wafin yang baru kembali langsung menggeret kursi kosong ke sebelah Kaia.
"Tiga menitan."
"Tumben lo ngajak Kaia ketemu, Waf. Sejak kapan lo sedeket itu sama Kaia?" Fian mengulurkan gitarnya pada Rifan, mulai menyulut sebatang rokok.
Memang, di antara yang lain justru Wafin yang tidak terlalu akrab dengan Kaia. Perempuan itu bahkan sempat terkejut saat sore tadi mendapat pesan dari Wafin dan mengajaknya bertemu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
General FictionMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...