Denting gelas yang bertubrukan pelan membersamai mereka yang hadir dalam forum malam ini. Seperti biasa, pertemuan di markas tercinta, rumah Uswa. Tak muluk-muluk, hanya berupa bincang santai setelah kemarin-kemarin hectic melakukan persiapan dan melaksanakan Rapimancab, ranting mereka yang menjadi tuan rumah kebetulan.
Malam ini personel pengurus harian lengkap formasinya, semua waka departemen hadir, begitu juga waka lembaga. Tentu, ini acara makan-makan, tak mungkin dilewatkan.
Tak lagi ada wadah kotor, paling cuma sisa gelas karena piring-piring sudah dibereskan Ima dan Ayu tadi. Betul-betul tinggal bersantai.
"Gila sih, adu argumennya Ibnu sama PAC kemarin mencekam banget," kata Iqbal berapi-api, "tapi keren, akhirnya mereka kicep gitu."
"Emang Bapak sekretaris kita ini nggak ada lawan," sambung Uswa.
Kaia hanya diam, memperhatikan dengan saksama. Ia juga tersenyum sesekali, membenarkan ucapan teman-temannya. Memang, Ibnu kemarin jadi bintang utama Rapimancab, segala macam argumen logis ia keluarkan. Bahkan, anak-anak dari kecamatan mengakui, bahwa selain Kaia, bibit-bibit manusia dengan pikiran kritis luar biasa juga tinggal di ranting yang sama, berteman dengan Kaia pula. Mereka dibuat habis malam itu.
"Mbak Kaia doang nih, yang kemarin nggak nunjukin taring. Sibuk ngefotoin orang-orang," timpal Faiza.
"Ya kan kemarin gue berperan sebagai delegasi anak cabang, pegang bagian dokumentasi pula. Mau gimana lagi?" jawab Kaia santai.
Buru-buru Danar menjawab, "Iya nih, padahal bisa jadi combo banget kalau Ibnu, Mas Ugra, sama Mbak Kaia disatuin."
Lagi Kaia tersenyum, sedang Ugra sibuk mengepulkan asap rokok. Sementara itu, Ibnu hanya meringis canggung.
"Para suhunya debat ada di sini semua, pantesan ranting kita diantisipasi banget." Aisy dari ujung menceletuk.
"Jangan cuma gue, Ibnu, sama Kaia doang. Kalian harus mulai latihan buat jadi penerus lidah tajamnya kita." Ugra ikut angkat bicara, sedikit terkekeh. "Nggak mungkin dong, gue sama Kaia bakal gabung sama kalian terus, umur nggak bisa bohong. Ibnu sih masih oke karena seumuran kalian, anak 2004."
Kaia mengangguk setuju, ya meskipun dengan alasan yang berbeda. Lantas, ia tiba-tiba bangkit, mengundang atensi penuh.
"Mbak mau ke mana?" tanya Faiza.
"Ambil sesuatu bentar di motor."
"Gue kira mau balik duluan," celetuk Ugra, "tumben aja gitu kalau sampai lo pulang padahal baru jam sembilan."
Kaia mengedikkan bahu, lalu melanjutkan langkah ke arah motornya yang terparkir.
Kembali ke forum, tangan Kaia tentu tak kosong. Ia membawa setumpuk kertas berukuran sedang berwarna dominan hitam, juga tampak ornamen berwarna silver di sudut-sudut, memeluknya.
Semua orang menatap Kaia awas.
Begitu duduk, Kaia mulai angkat bicara. "Ada yang mau gue sampaiin. Pertama, terima kasih atas semua yang udah kita lewatin di organisasi, yang kedua gue mau minta maaf, atas apa yang udah terjadi, barangkali gue nyakitin hati kalian tanpa sadar. Maaf yang selanjutnya ...."
Kaia mengangsurkan tumpukan kertas yang tadinya dalam pelukan ke tengah-tengah mereka. Semua mata membulat, menatap kertas itu dan Kaia bergantian dengan sorot tak percaya.
"Maaf, karena gue harus berhenti di tengah jalan, nggak bisa membersamai kalian sampai reor nanti. Otomatis, Ima sebagai partner waka gue, harus berjuang sendiri di Dakom mulai sekarang."
"Ini apa-apan, Kaia?!" geram Ugra. Rahang pemuda itu sudah mengetat dengan wajah keruh luar biasa. Dibuangnya rokok yang masih setengah ke dalam asbak, tangannya lantas terkepal kuat hingga buku jarinya memutih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
Ficción GeneralMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...