Kata hanyalah kata, untung saja Kaia adalah makhluk skeptis yang tak mudah percaya pada bualan yang diucap amat mudah oleh si empunya. Memang semalam Ugra menyuruhnya istirahat saja, tak usah memikirkan sisa persiapan acara yang bukan tanggung jawabnya, tapi apa? Seperti saat reor dulu, pagi-pagi betul Ugra sudah meminta bantuan ini-itu. Merecoki Kaia yang bahkan baru saja membuka mata.
Sebuah pesan singkat melesat ke ponsel Kaia yang ber-case marun. Lebih tepatnya, pesan singkat yang panjang ke bawah tersusun. Spam yang lumayan membuat geram. Ugra bilang, bagian konsumsi mendadak melaporkan hal yang memancing emosi bukan kepalang. Jumlah tamu undangan dengan jatah yang disiapkan tak seimbang, jomplang. Jadi kemungkinan, pasokan makanan akan sedikit membuat keteteran jika tak secepat kilat ada subsidi tambahan. Kaia ikut frustrasi jika begini, bagaimana bisa kecolongan sefatal ini?
Malas mengetik balasan, Kaia memilih menekan ikon panggil pada kontak Ugra, tersambung di dering ketiga.
Tak basa-basi, Ugra di seberang langsung bertanya, "Jadi gimana, Kai? Ada solusi, nggak? Gue buntu banget ini. Tinggal nanti sore soalnya."
"Bagian pendanaan sama bendahara gimana? Udah fiks ada lebihan anggaran, nggak?" Tangan Kaia sibuk memasukkan beberapa item ke dalam totebag hitam miliknya, pasalnya hari ini ia ada urusan pagi.
"Justru itu, nggak ada sama sekali, Kai. Kita udah nggak punya saldo, bahkan untuk perintilan kecil-kecil aja udah ditalangin sama anak-anak."
Sejenak Kaia menghentikan kegiatan dan kembali ke depan cermin, sekali lagi mematut diri.
"Dana yang dari kepala desa kemarin udah cair belum, sih? Sama dari Alfa Furnindo?" Kaia tetap berusaha tenang meski isi kepalanya juga semrawut tak karuan.
"Dua-duanya belum cair, tapi gue juga nggak berani mastiin bakal cair atau nggak," balas Ugra.
Helaan napas panjang Kaia lolos. "Gini deh, misal kita langsung gerak cepat buat cari kekurangan konsumsi, itu kurangnya banyak, nggak? Ya emang mau nggak mau harus kita talangin dulu, masalahnya pengajuan kita kemarin juga emang mendadak banget. Tapi Insyaallah dari Alfa Furnindo ntar tetep cair dan biasanya nggak sedikit. Coba ntar gue lobi ke orang dalem juga."
Kaia tahu lelaki di seberang amat panik, tampak jelas dari helaan napas berulang yang cukup mengusik. Ikut menampakkan kepanikan hanya akan membuat situasi makin berantakan, lagipula ia butuh membuat lelaki di seberang tenang agar seharian ia tak ikut uring-uringan.
"300 ribuan paling kurangnya, Kai. Tapi yakin kita bisa?" Ada nada pengharapan mutlak yang dapat terdengar rungu Kaia.
Meski tahu Ugra tak bisa melihatnya, Kaia tetap mengangguk seraya tersenyum. "Bisa, percaya sama gue. Lo masih ada pegangan uang, nggak?"
"Honestly, gue tinggal pegang 100 ribu. Belum gajian," aku Ugra.
Kaia meringis, ia jadi merasa bersalah karena semalam pemuda itu sampai membelikannya makanan.
"Ya udah, kita pakai uang gue kalau gitu, tapi gue harus ke ATM dulu. Ntar setelah urusan gue kelar gue anter ke rumah lo sekalian nyari apa yang kurang, jam 9-an paling. Nggak apa-apa, kan?"
"Lo yakin?" tanya Ugra.
"You can count on me, Gra."
"Thanks banget, Kai. Glad to have a partner like you. Gue nggak bisa bayangin kalau nggak ada lo. Bukannya mereka nggak ngebantu, masalahnya lo tahu sendiri gue susah nyambung kalau koordinasi sama mereka. Apa-apa jadinya ke lo."
"It's ok, gue paham. Ya udah, gue tutup dulu, I've to go. Pokoknya lo tenang aja, jangan sampai mood buruk lo ikut bikin gue senewen seharian ini, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
General FictionMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...