Pesan yang masuk ke nomornya dua menit lalu cukup membuat Kaia menautkan alis. Sebuah nomor baru yang mengaku sebagai Nadiya Kharisa. Kaia ingat, perempuan itu adalah adik kelas di aliyah, dua tahun di bawah Kaia.
Kaia tak suka berbalas pesan, ingat? Terlalu malas mengetik. Pada akhirnya, dua perempuan berjarak usia dua tahun itu melakukan panggilan.
"Jadi, ada apa, Nad? Nggak mungkin lo tiba-tiba contact gue tanpa ada hal penting." Satu tangan Kaia sibuk di atas papan tik, sedang di kepala ia melakukan scanning terhadap ratusan naskah puisi di monitor. Pagi-pagi sekali tadi, ia mendapat side job untuk menjadi juri cipta puisi bagian penilaian diksi dan analisis kesalahan tik.
"Jadi gini Mbak. Mbak inget tiga minggu lalu kita ketemu di gedung MWC, kan? Di turnamen Mobile Legend acara Porseni dan Konferancab."
"Iya and then?" balas Kaia cepat. Tiga minggu lalu Kaia memang tak sengaja bertemu dengan perempuan itu di tengah-tengah turnamen. Kebetulan ia menjadi official team menemani Ugra dan anak-anak ranting mereka, sedang Nadiya menemani anak-anak rantingnya sendiri.
"Jadi, aku yang jadi ketua terpilih periode mendatang di organisasi. Sekarang aku lagi cari tim buat bantu aku jalanin organisasi dua tahun ke depan. Aku sempet tanya-tanya sama demisioner, kenalan, dan ketua-ketua ranting tahun sebelumnya, dan semuanya ngusulin nama Mbak Kaia," jelas Nadiya.
Jari Kaia sontak berhenti mengetik, lebih fokus pada panggilan. "Tunggu-tunggu, pada ngusulin nama gue? Kok bisa?"
Bagaimana Kaia tak bingung, ia bergabung dalam organisasi terhitung kurang dari setahun dan langkahnya pun belum pernah di luar internal ranting. Mana mungkin anak-anak ranting lain mengenalnya, apalagi demisioner anak cabang. Ayolah, ini bukan dinasti pendidikan formal yang menaungi antar senior dan junior. Mereka semua berasal dari sekolah berbeda tentu, terlalu mustahil rasanya. Ditambah, bisa dibilang, usia Kaia berada jauh di atas ambang batas dikenali oleh anak-anak lain yang baru lulus tahun kemarin. Lima tahun bukan gap yang bisa dianggap sedikit.
"Kurang tahu juga sih, Mbak. Aku juga bingung mereka bisa kompak ngusulin nama Mbak Kaia semua. Tapi, posisi yang aku siapin buat Mbak memang kayaknya relate banget."
Kening Kaia berkerut dalam. "Emang posisi apa yang lo siapin buat gue?"
"Lembaga Pers dan Jurnalistik. Itu lembaga baru yang aku rintis sama ketua terpilih yang cowok sih, Mbak."
Kaia ingat, Nadiya memang aktif di dunia pers zaman sekolah dulu maupun sudah jadi mahasiswi seperti sekarang, Kaia tahu itu. Gadis tersebut juga aktif dalam komunitas sastra sejak zaman sekolah, juga bergabung dalam komunitas di luar sekolah yang founder-nya Kaia kenal betul. Pernah juga Kaia belajar dari beliau untuk menghadapi event lomba baca puisi dulu. Namun sampai mengajak Kaia bergabung, tentu itu di luar bayangan Kaia.
Jika sudah begini, rasanya Kaia tahu alasan semua orang mengusulkan namanya. Kaia yang memang seorang penulis sering memposting beragam tulisan di akun media sosialnya untuk marketing juga personal branding dulu. Pasti ada satu dua orang dari mereka yang memiliki kontak Kaia dan setia jadi penonton story. Menyusahkan.
"Bukannya gue nggak mau bantu lo, Nad. Masalahnya, urusan gue ini udah banyak. Ngajar, nge-freelance, gue juga aktif di organisasi setingkat desa dan nggak cuma satu organisasi. Di kampung sendiri, gue juga udah diuber-uber tanggung jawab memajukan umat. Kalau gue iyain tawaran lo, bisa beneran nggak pernah istirahat gue, Nad. Nggak maksimal juga pergerakan gue di sana."
Sejenak Nadiya hening, tampaknya berpikir ulang untuk mengajak Kaia bergabung. Jelas dengan kesibukan semacam itu, Kaia tak akan bisa diandalkan 100 persen.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
Ficción GeneralMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...