Sepuluh orang yang menjadi pelopor berdirinya Majelis Maulid Simtudduror se-desa itu duduk melingkar di musala calon tuan rumah. Setelah berusaha melobi sana-sini, akhirnya Rindi mendapat kabar baik. Sesuai prediksinya, musala ujung timur bersedia menjadi tuan rumah untuk bulan ini.
Air mineral gelas tersebar di depan masing-masing orang, rapat tanpa teman camilan bukan hal baru bagi mereka. Saling melempar argumen jika dirasa perlu, lalu khidmat mendengarkan tatkala Ugra menarik kesimpulan untuk tiap poin bahasan.
Kaia yang merangkap menjadi sekretaris, sedikit-sedikit memijit pelipis melihat betapa berantakan kertas-kertas di hadapannya. Sesekali meluapkan kekesalan saat Ugra tiba-tiba mengubah haluan padahal kesepakatan telah tercapai. Sialnya, lelaki itu mengutarakan alasan yang 100 persen logis dan bisa diterima yang lain. Bukannya Kaia tak lapang dada, masalahnya catatannya jadi penuh coretan tak karuan, Kaia benci itu.
"Kai, berarti poin kedua terkait konsumsi habaib tadi diganti ya, jadi kita yang tanggung, bukan tuan rumah," pungkas Ugra.
See, padahal mereka sudah beralih pada poin kelima, dan Ugra kembali ke poin kedua.
"Sekalian, mana lagi yang mau lo ganti, sebelum pulpen gue melayang ke kepala lo," sarkas Kaia.
Sementara yang lain menahan tawa, Ugra meringis. "Sini-sini, biar gue yang gantian nulis. Gini doang, manja."
Kaia menyerahkannya setengah menyentak. Siapa peduli, ia sudah benar-benar gondok. Lihat saja kertas catatannya itu, banyak coretan. "Manja-manja, kalau gue manja, dari kemarin nggak gue ladenin tuh ocehan lo yang nyuruh ini itu."
Sedotan langsung mendarat di pangkuan Kaia, seperti biasa, Ugra yang jadi tersangka pelemparan.
"Udah-udah, urusan rumah tangga jangan bawa ke forum dong, Mas, Mbak," goda Uswa.
"Udah, lanjut." Ugra tak menanggapi.
Kepalang kesal, Kaia memilih mundur jauh, sengaja menyandarkan punggung pada tiang serambi musala. Lagipula punggungnya amat sakit efek hari pertama mendapat tamu bulanan. Satu alasan lagi mengapa ia menjadi lebih uring-uringan hari ini.
"Karena tuan rumah mintanya bukan acara yang mewah, jadi kita buat lebih minimalis dari sebelum-sebelumnya. Sound system yang biasa kita nyewa, buat ini nanti pakai yang punya gue pribadi aja, gratis. Terus, Rindi, pastiin koordinasi sama remaja sini nggak putus, ya. Kita masih perlu follow up terkait penyediaan kopi. Kalau mereka nggak nyanggupin, ya berarti mau nggak mau kita lagi."
"Oke, Mas." Rindi mengangguk.
"Fail, gimana bagian pendanaan?" Ugra beralih pada pemuda berkaos lengan panjang di sampingnya.
"Gue sama anak-anak udah nyebar semua surat permohonan dana yang emang bagian kita, sesuai list kesepakatan di awal. Rencana gue ambil dua hari dari sekarang, ya semoga bisa cair. Yang masih tanda tanya permohonan dana ke Kepala Desa, Mas. Soalnya dipegang sama Mas Fajar dan gue belum dapat konfirmasi apa-apa."
Ugra berdecak keras. "Fajar lagi. Lagian ke mana sih tuh anak? Rapat krusial begini nggak hadir, gue juga nggak bisa hubungin dia, loh."
"Sore tadi waktu ke ATM, gue papasan sama dia, Mas. Pakai baju koko. Sama Mas Vian." Lita menyahut dengan ciri khasnya, sambil nge-gas. "Gue tanya mau ke mana, katanya mau ke Kudus, ziarah. Gue nggak kepikiran tanya-tanya masalah bakal bisa dateng rapat malam ini atau nggak."
Decakan kembali lolos dari bibir Ugra.
"Ya emang gitu si Fajar, kayak nggak kenal dia aja kalian." Sang mantan angkat bicara. Bagaimanapun, Uswa masih sentimen parah pada Fajar, efek diselingkuhi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
General FictionMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...