"Mohon maaf, keperluannya apa, Mbak?" Perempuan berbaju batik dengan jilbab hitam bertanya dengan ramah. Senyum lebar tersungging di bibirnya.
"Saya mau setor SPJ BOP, Mbak. PD Pontren," jawab Kaia seraya balas tersenyum.
"Boleh saya lihat KTP-nya?"
Kaia menyerahkan kartu identitas. Setelah beberapa saat perempuan berbaju batik itu mengutak-atik komputer, mengisi data, Kaia diberikan kalung ID Card bertuliskan "Visitor".
"Nanti Mbak masuk saja lewat jalan ini, terus belok kiri. Ada tangga di pojok, Mbak bisa langsung naik ke lantai 2. Pintu pertama tepat di depan tangga, itu ruangannya."
"Terima kasih, mari." Kaia mengangguk lalu berlalu mengikuti arahan. Bertemu satpam di pintu kaca, Kaia kembali mengangguk dan mengulas senyum, dibalas sama lebar.
Berhasil menapaki anak tangga teratas, Kaia langsung bisa melihat tulisan PD Pontren di tergantung di atas pintu pertama dari tangga.
Setelah mengucap salam, ia langsung masuk ke dalam ruangan ber-AC itu, menuju meja tinggi di mana di baliknya duduk perempuan yang ia tahu bertanggung jawab atas BOP. Bu Wardah namanya. Beliau juga yang memberikan sosialisasi terkait SPJ beberapa waktu lalu.
"Assalamu'alaikum, pagi, Bu," sapa Kaia.
"Wa'alaikumussalam. Ada yang bisa dibantu, Mbak?" balasnya.
"Saya mau mengumpulkan SPJ." Gadis itu mengangsurkan satu bendel kertas yang sudah dijilid rapi dengan kover hijau.
"Saya cek sebentar ya, Mbak." Begitu mengatakannya, Bu Wardah langsung membolak-balik halaman, sebelum berhenti dan fokus pada lembar RAB. "Loh Mbak, kok di sini honor guru melebihi 50 persen dana BOP, ya? Kan tidak boleh."
Kaia sedikit melongok, ikut menekuri lembar yang dimaksud. "Oh, itu RAB asli waktu pengajuan, Bu. Di baliknya sudah ada RAB setelah direvisi, sebagaimana ketentuan pengimplementasian uang setelah dicairkan. Kan di sosialisasi kemarin, jika memang RAB waktu pengajuan dengan pengaplikasiannya berbeda, cukup melampirkan RAB asli dan yang setelah direvisi."
Barulah Bu Wardah membuka halaman selanjutnya dan melihat deretan huruf serta angka yang dimaksud Kaia. Wanita berjilbab biru itu tertawa kecil. "Eh iya, Mbak. Maaf. Saya kira tidak ada revisiannya tadi. Kalau begitu laporannya saya terima, terima kasih sudah mengumpulkan tepat waktu."
"Sama-sama, Bu. Kalau begitu saya permisi."
"Silakan."
Kaia sebetulnya agak gondok, berkendara sejauh 20 km dalam keadaan panas terik hanya demi memberikan berkas dan tak sampai 5 menit. Luar biasa. Apa kabar dengan pertanggunngjawaban lembaga-lembaga dari kecamatan seberang lautan. Parah.
Usai kembali menukar kalung dengan KTP, Kaia tak langsung pulang, sengaja ngadem sebentar di masjid Kemenag dekat aula 1. Lumayan, di sana sangat sejuk karena banyak pepohonan, ditambah bisa numpang wifi aula sejenak sebab ia tahu password-nya.
Bersandar pada tiang selasar masjid, beberapa kali Kaia mendapati anak-anak berseragam SMK yang hilir mudik sekadar ke toilet masjid atau bahkan salat Duha. Barangkali mereka anak-anak yang magang di gedung sebelah, Kantor Dinas Pendidikan.
Sejam berdiam, Kaia memutuskan bangkit ke parkiran, siap pulang. Lagipula ia masih punya urusan setelah ini.
Sengaja lewat jalan alternatif agar tak terlalu ramai lalu lalang kendaraan, Kaia memelankan laju motor. Menikmati embusan angin tentu, lagipula jalan alternatif ini sangat bersahabat, banyak pepohonan besar di kanan-kirinya.
Mendapati ponsel dalam sling bag berdering, Kaia menepi guna mengangkat panggilan. Terlebih dulu dilepasnya helm.
"Di mana?" tanya orang di seberang tanpa tedeng aling-aling. Sontak Kaia menjauhkan ponsel seketika. "Sini ke rumah Danar. Gue di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
Ficción GeneralMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...