Bab 22

75 18 1
                                    

Entah ada angin apa, Farid mengajak bertemu malam ini. Jadwal Kaia sudah pasti bentrok dengan rapat terakhir sebelum pelaksanaan maulid. Alhasil, ia memilih menghadiri rapat terlebih dahulu sebelum menemui lelaki itu. Ingin menolak, Farid bilang jangan karena urusan mendesak. Berakhirlah Kaia yang memohon izin pada Ugra untuk undur diri lebih dulu.

"Mau ke mana sih lo, Kai? Belum kelar loh rapatnya." Ugra bertanya setelah berdecak keras begitu Kaia izin.

"Ada janji sama temen, urgen," balas Kaia seraya memberesi kertas-kertas berisi catatan penting miliknya. "Lagian semua yang berkaitan sama tanggung jawab gue udah clear, udah gue sampaiin juga."

Ugra sengaja mengambil dua lembar kertas dengan isi paling penting, bermaksud menahan perempuan itu. "Lo mau nemuin siapa semalam ini, Kaia? Udah jam sepuluh, mustahil juga temen lo nunggu."

Kaia mendongak, menatap Ugra tepat di manik mata. "Lo mau bawa pulang kertas itu? Silakan, kalau ilang, acara ini taruhannya, dan gue nggak tanggung jawab atas itu. Dan bukan urusan lo juga gue pergi sama siapa. I am leaving, he's already waiting for me."

Apa katanya? He? Gigi Ugra bergemeletuk, tangannya terkepal kuat begitu melepas kertas dari tangan yang langsung diambil Kaia. Ia tahu Kaia paling tak suka dicampuri urusan pribadinya, tetapi tetap saja rasanya keterlaluan. Menghentikan pun Ugra tak bisa, tak berhak sedang yang dikatakan perempuan itu sepenuhnya benar, ia tidak memiliki keharusan lagi berada dalam forum.

Begitu Kaia pergi, rapat tak kunjung dimulai lagi. Semuanya sibuk menelan ucapan bulat-bulat sebelum sempat menyuarakannya. Tampang Ugra dan usaha lelaki itu yang masih mencoba mengatur napas yang memburu belum sepenuhnya selesai, membuat yang lain segan. Lelaki itu menyeramkan.

"Jar, ambil alih rapat bentar. Gue mau cuci muka." Ugra langsung bangkit begitu Fajar mengangguk.

Lelaki itu memutuskan mengambil air wudlu untuk meredam emosi. Dadanya masih naik turun mengingat ucapan Kaia. Ia lantas bergumam lirih, "Kenapa lo sesusah itu dikendaliin, Kaia? Justru gue yang selalu kehilangan kendali kalau ngadepin lo. Shit! Tuh cewek bener-bener out of everyone's control. Lo buat gue gila, Kaia."

-o0o-

"Thanks udah luangin waktu buat gue, Kai." Farid menyodorkan sekotak yogurt yang sejak tadi diletakkannya di atas meja. Kesukaan Kaia.

Sempat tertegun, Kaia menerimanya juga. "Jujur, minta apa lo kali ini?"

Mendengarnya, Farid terkekeh. Perempuan di seberang meja sangat tak bisa diajak berbasa-basi.

"Dengerin curhatan gue, please. Gue bener-bener butuh pendengar kali ini."

"Go ahead," balas Kaia santai, mulai membuka kemasan yogurt. Sendok kecil yang tadinya berada di cangkir kopi miliknya berpindah ke dalam kotak yogurt. Perempuan itu mulai memakannya perlahan. "Gue dengerin sambil makan."

Lagi-lagi Farid terkekeh.

"Lo tahu kan, kondisi bapak gue gimana? Kondisi Bapak semakin parah, Kai. Yang biasanya gue masih antar beliau ngajar ke sana kemari, sekarang udah nggak bisa karena berdiri aja udah susah. Gue anak bungsu dan satu-satunya yang belum nikah. Gue takut nggak bisa bayangin kalau tiba-tiba Bapak dipanggil sama Allah dan gue belum bisa menuhin permintaan Bapak satu-satunya. Bapak pengen gue nikah, Kai."

Mata Kaia memicing, tetapi masih terus memakan yogurt miliknya. Menunggu Farid melanjutkan cerita.

"Yang Bapak tahu, gue deket sama cewek namanya Maulida. Ya, emang dia yang beberapa kali gue ajak ke rumah dan gue kenalin sebagai calon." Farid tertawa miris. "Tapi, kita cuma bisa berencana kan, Kai? Yang nentuin gimana akhirnya tetep Allah. Gue udah lama nggak sama Maulida, diem-diem dia dilamar sama cowok lain dan bentar lagi mau nikah."

Arundaya KaiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang