Bab 15

86 19 13
                                        

Jumat yang ... mendung. Selain bebas kerjaan, hari ini juga Kaia bebas dari semua kegiatan organisasi, membuatnya puas berguling-guling di kasur setelah mencuci baju jam enam tadi. Belum sekali pun ia menyalakan ponsel sejak subuh, membiarkannya dalam posisi data mati. Toh dua buku di sisi kanan bantal sudah menemaninya tanpa menimbulkan bosan.

Melirik jam yang tergantung di dinding abu kamar, mata Kaia membola. Sudah pukul sebelas siang. Segera ia menyambar ponsel di meja kerja dan menyalakan data. Notifikasi beruntun langsung masuk ke ponsel yang kini case-nya berwarna gradasi biru-hitam itu. Hampir semuanya dari Ugra.

"Mampus, gue lupa ada janji sama Ugra." Kaia langsung membuka ruang obrolan dengan lelaki itu. membaca satu per satu pesan.

\Kai, jangan lupa.
\Woi, kok ctg satu sih.
\Kaia, buruan online heh!
\Kai, lo nggak lupa, kan?
\Arundaya Kaia!
\Ah, nggak asik lo.
\Kaia, sumpah! Gue nggak bakal maafin lo kalau lo sampai lupa.
\Bodo amat, Kai. Ntar gue langsung ke rumah lo.
\Kaia! Jangan buat gue senewen, deh.
\Kai, ayolah.
\Kaia!

Kaia bukannya iba, malah ngakak tak ketulungan. Ternyata lelaki itu bisa selebay ini.

Pada akhirnya, Kaia memilih menyentuh ikon panggil. Di dering pertama panggilan langsung diangkat Ugra.

"Lo dari mana aja sih, Kai? Lo buat gue frustrasi tahu, nggak?" sentak Ugra, hingga membuat Kaia langsung menjauhkan ponsel dari telinga.

"Assalamu'alaikum dulu, dong," balas Kaia, setengah mengejek. Namun tak urung, Ugra membalas salamnya ogah-ogahan. "Sorry, iya tadi gue lupa, keasikan baca buku."

Desisan Ugra langsung terdengar.

"Damai, oke? Yang penting kan udah inget, lagian perginya masih nanti habis lo sholat Jumat."

"Tapi mendung, gimana kalau hujan?" Suara Ugra terdengar melemah.

"Ya batal, terpaksa. Gimana lagi?" balas Kaia santai, tak tahu bahwa ucapannya kembali menyulut kegondokan Ugra.

"Ya lo jangan doain hujan, dong. Lo emang nggak niat mau pergi sama gue, kan? Jujur lo! Seneng kan lo kalau misal rencana kita batal?!

Kaia mendengus. "Salah lagi. Gue nggak doain biar hujan, loh. Kan lo tanya gimana misal hujan, ya batal. Emang lo mau maksa pergi kalau hujan? Basah-basahan gitu, gue sih ogah. Niat amat."

"Udah lah, emang lo yang nggak niat pergi," tukas Ugra.

Kaia mengelus dada, merapal kata sabar berulang dalam hati. "Gue niat, Ugra. Kalau gue nggak niat, ini tadi gue nggak bakal telepon lo. Sekarang lo maunya gimana, deh? Pending dulu coba sensinya."

"Ya pokoknya kita pergi," sentak lelaki di seberang.

"Oke, kita pergi kalau nggak hujan. Gitu, kan?" Mendengar Ugra hendak kembali menyemprot, Kaia segera melanjutkan, "Gue doain semoga nggak hujan. Calm down, mulai muncul tuh matahari."

"Tapi di tempat gue malah gerimis, Kaia." Suara Ugra melemah.

Sungguh, Kaia malah ingin tertawa. Lelaki itu bisa selebay ini, perkara gerimis.

"Numpang lewat doang itu. Di tempat gue mulai panas, kok."

Akhirnya, terdengar helaan napas lega Ugra dari seberang. Setidaknya lelaki itu sudah tak heboh lagi. Kaia jadi heran, Ugra kan berniat mengajaknya agar Kaia melepas penat, tak stress karena kerjaan dan organisasi. Ini malah Ugra yang tertekan.

"Ya udah, udah lega kalau kayak gini. Gue mau siap-siap ke masjid dulu, Jumat Wage, gue dapat jadwal jadi bilal. Pokoknya nanti gue jemput jam satu. Awas lo ngilang!"

Arundaya KaiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang