31 . Perasaan Rades

549 27 3
                                    

Aku tersenyum mendengar teriakan Ella saat ia mengatakan aku mesum, hei aku bukan orang seperti itu ya!

Setelah beberapa jauh darinya, aku membalikkan badan memastikan dia sudah sampai ke kelas dengan selamat.

"Syukurlah."

Aku bergegas pergi menuju kelas.

Sebelum menduduki bangku sudah ada yang memanggil namaku terlebih dahulu, ini sedikit mengganggu.

"Rades, Rades,"

Aku menoleh tanpa menjawab.

"Ada mamah lo di depan."

Mamah? Buat apa dia ke sekolahku? Bukankah dia berada tidak berada di kota ini? Tanpa membalas perkataan teman akupun langsung keluar kelas.

Benar saja, disana sudah ada mamah yang memakai pakaian hitam, matanya seperti sudah menangis. Disamping itu ada wali kelasku di sekolah.

Mereka sedang sibuk membicarakan sesuatu, aku mendengar sekilas wali kelasku mengucapkan kata penenang untuk mamahku yaitu sabar.

"Mamah,"

"Rades." Mamah berjalan ke arahku dengan raut wajah yang sedih.

"Kita pulang ya sekarang, kita ke Bandung." Lanjutnya.

Aku kebingungan dengan ucapan mamah, haruskah sekarang? Bukannya sekarang sedang sekolah? Kenapa buru-buru sekali?

"Buat apa?"

"Nanti mamah bicarain."

Aku yang masih bingung disuruh untuk mengambil tas dan pergi.

Sesudah di mobil ketika aku ingin sekali mengabari Ella karena tidak bisa pulang bersama dengannya, mamah mengucapkan sesuatu yang membuatku tidak jadi mengirim pesan untuk Ella.

"Kakak kamu-" ucapannya menggantung.

Aku berhenti melakukan aktivitas ku untuk mengirim pesan kepada Ella. Kini aku menoleh ke arahnya.

"Dia meninggal."

Saat mendengar hal itu, ponsel yang aku pegang seketika terjatuh di dalam mobil. Aku tidak berniat untuk mengambil ponsel tersebut karena sangat terkejut dengan berita ini.

"Apa?"

"Aden meninggal, Des." Mamah menatap lirih ke arahku. Aku masih menatapnya dengan tatapan datar.

Segitu sedihnya mamah?

Aku membalikkan badan dan melihat ke jalanan, pikiranku sekejap melayang entah kemana.

Sebisa mungkin aku menahan air mata yang ingin keluar, aku harus kuat karena aku harapan satu-satunya mamah. Karena bagaimana pun Aden tidak dapat diharapkan. Terlebih dia sekarang sudah tiada.

Sebenarnya aku sedikit senang ini terjadi, mamah tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membiayai Aden lagi.

Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa aku turut sedih karena Aden satu-satunya saudara yang aku sayangi.

Ini antara benci dan sayang.

Aku bimbang karenanya, pikiranku sekarang sangat kacau. Aku sekarang mengurungkan niat untuk menghubungi Ella karena takut dia menjadi kepikiran juga.

*****

Ini terlambat.

Harusnya aku meminta maaf terlebih dahulu ke Aden dari dulu, ini sudah sangat terlambat.

Tidak ada gunanya aku meminta maaf sekarang karena ia tidak bisa mendengarkan ku lagi.

Aku jahat membencinya, tidak seharusnya aku membenci saudara sendiri karena kekurangan kasih sayang dari sosok ibu dan ayah.

Harusnya aku ikut mengurus Aden waktu itu.

Dan akhirnya aku menyesali kembali perbuatanku. Sedari dulu aku selalu begini, tidak bisa mengambil keputusan yang tepat dan diakhiri oleh penyesalan.

Aku melihat beberapa orang turun ke lubang kuburan lalu beberapa orang diatas menyerahkan tubuh Aden yang sedikit terbujur kaku dan dibaluti kain kafan ke dalam lubang kuburan.

Setelahnya orang itu mengambil beberapa tali yang mengikat tubuh Aden.

Sesudah itu kayu kayu dimasukan ke dalam liang kubur untuk menyangga agar saat tanah dimasukan tidak terlalu mengenai badan Aden.

Melihat mamah yang terisak dari tadi membuatku semakin merasakan nyeri yang benar-benar sakit di bagian dalam dada.

Aku tidak kuat melihat semuanya, aku segera mundur beberapa langkah dari kuburan.

Tak kuat menahan air mata lagi, akhirnya air itu menetes keluar dari mata yang beberapa lama aku tahan.

Tiba-tiba ada jari yang menyapu lembut air mataku di pipi. Aku menoleh untuk melihat, itu...

"Ang-ngel?"

Dia tersenyum.

Ia mulai duduk di sebelahku dan memberikan sapu tangan kepadaku. Aku bertanya-tanya mengapa ia bisa berada disini.

"Gue turut berduka cita ya, Des." Aku membisu mendengarnya.

"Kena-"

"Sut..." Ia menempelkan jari telunjuknya dibibir ku.

"Gue kebetulan nggak sekolah karena izin ada acara keluarga... Gue di Bandung."

Aku mengangguk mengerti.

"Gue tahu ini karena ada beberapa teman gue yang bilang ke gue. Jadi gue langsung kesini."

Sekarang aku sudah tidak mendengarkan Angel dan fokus kepada seorang ustadz yang berdoa dekat kuburan Aden yang sudah tertutup sepenuhnya dengan tanah.

Kemudian Angel memelukku dari samping, ia menyenderkan kepalanya di pundakku sembari mengelus pelan punggungku.

"Gue tahu ini sakit, gue tahu lo kuat."


________
TBC.

28 Juli 2023.

 Free Thought [ GXG ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang