11 . Permintaan Maaf

1K 47 0
                                    

Aku menghembuskan napas kasar, memandang bingkai-bingkai foto yang tersusun rapih di ruang keluarga.

Jadi tanpa aku pikir dan coba untuk melupakan semua itu sia-sia. Jika aku bisa mengulang waktu akan aku putar disaat aku dan Ella bertengkar tadi.

Rasanya aku ingin memeluk dirinya sekarang.

Aku tidak sepihak?

Ini membuatku semakin stress akan tekanan semuanya, aku mengacak-acak rambutku sendiri untuk mengusir rasa pusing di kepala.

Ingat ada beberapa batang rokok aku pun mengambilnya di kamar lalu kembali ke ruang keluarga untuk mengeluarkannya dan menghisap satu batang.

Sejenak pikiranku melayang.

Bagaimana cara meminta maaf kepadanya?

Aku akui aku tidak mahir dalam berbicara secara langsung dibandingkan dirinya yang tentu cerewet itu.

Aku memutar otak untuk menemukan jawaban. Tapi untuk apa aku meminta maaf? Bukankah aku tidak salah?

Tapi tetap saja...

Ponsel yang berada di meja aku ambil dan beralih ke WhatsApp untuk mengirimkannya pesan.

Rokok yang sudah aku nyalakan terpaksa aku matikan kembali karena pikiran ku terlalu pusing.

Sambil memandang profil WhatsApp punya Ella, aku memejamkan mata dan tanpa sadar terlelap.

Tok tok tok

Baru beberapa menit terlelap aku dibangunkan oleh ketukan pintu.

Kali ini siapa lagi yang mengetuk pintu? Rasa malasku terlalu besar untuk bergerak beberapa langkah ke arah pintu.

Dengan rasa lelah aku membuka pintu rumah. Saat aku melihat orang yang mengetuk pintu seketika rasa lelahku berubah menjadi terkejut.

Aku salah tingkah mengetahui itu adalah Ella.

"Ehem," aku sengaja melihat ke arah lain agar tidak melihat wajahnya.

"Kak..." Ucapannya membuatku merinding bahkan hanya sekedar memanggil saja.

Aku meliriknya sebentar.

Ia bahkan tidak mau melihatku juga, dia hanya menundukkan kepalanya sekarang.

"Ini, kata mamah." Ella menyodorkan tempat makan kepadaku.

Kenapa keluarganya begitu baik kepadaku? Apa hanya karena pesan mamah saja? Memangnya apa sekhawatir itu? Bukannya dia hanya mementingkan anak kesayangannya itu dibandingkan aku?

Aku segera mengambil tempat makan dari genggamannya. Tapi tidak sengaja bersentuhan dengan kulitnya, aku lagi-lagi seperti aliran darahku mengalir dengan deras kesana kemari.

"Makasih."

"Aku pulang dulu,"

Ini tidak benar.

Saat Ella membalikkan badannya dan ingin melangkah pergi dari rumah segera aku raih tangannya.

"Ella."

Ia mendongak untuk melihatku, raut wajahnya menyirit.

"Apa, Kak?"

"Kita perlu bicara."

Dia berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaanku lalu mengangguk pelan.

"Apa?"

"Maaf soal kemarin, aku-"

"Ah soal itu, bukan salah kakak kok." Ia melepas genggaman tanganku, aku melihatnya sedikit ragu ragu ketika ia mengusap usap kedua telapak tangannya.

"Itu salah aku," lanjutnya.

"Tapi-"

"Aku pulang, dadahhh!"

"Tunggu!" Sekali lagi aku menariknya untuk mendekat.

Sepertinya aku terlalu kencang menariknya sehingga Ella terdorong keras ke arahku.

Badannya menubruk tubuhku dan kepalanya yang sedari tadi menunduk mengenai daguku sangat keras.

Segera aku melepaskan tanganku dari lengannya.

Rasanya daguku sangat sakit sekali.

Tapi aku ingat bukan aku saja yang kena, "kamu gapapa?"

Ella terus memegangi kepalanya, aku bingung harus bagaimana. "Maaf, aku minta maaf."

"Aku gapapa kok, aku pergi sekarang ya, kak?" Dia sangat tidak nyaman sekarang berada disini.

Aku harus bagaimana? Padahal aku ingin sedikit bicara lebih lama dengan dirinya, tetapi ini terlalu canggung bagi kami.

"Ella,"

Dia menghentikan jalannya.

"Apa lagi?"

"Besok sibuk?"

"Maksudnya?" Kini dia mulai penasaran apa yang akan aku tanyakan selanjutnya, aku dapat melihat dari rautnya.

"Kalau nggak, aku mau ajak kamu jalan."

Aku salah atau tidak bicara seperti ini? Seperti boomerang bagiku sekarang jika ia tidak setuju dan aku terlanjur mengeluarkan kata-kata kurang bermakna.

"Aku, free."

Aku tersenyum tipis setelah mendengar jawabannya.

"Oke."

"Apa?"

"Iya tadi."

"Iya apa?"

"Jalan."

"Boleh."

Dia langsung membalikkan badan lagi untuk menghindari diriku. Sebelum dia pergi aku melanjutkan kata-kataku kembali.

"Dandan yang cantik."

Aku melihatnya berlari kecil dan mengangkat ibu jarinya ke atas. Syukurlah.

***

Rades sialan!

Bisa-bisanya dia meminta aku untuk berjalan besok bersamanya, tetapi dengan wajah yang datar seperti itu.

Memangnya siapa yang mau berjalan bersama dia jika ekspresinya saja tidak dia perlihatkan?

Tetapi tunggu, apa mungkin ini kencan?

Aku tersenyum menatap cermin, ngomong-ngomong aku ini cocok dengannya.

Secara tidak langsung bukankah aku ini cantik, kan?

Tetapi aku kembali murung karena ajakannya tidak diiringi oleh senyuman, orang seperti apa yang memerintahkan seperti itu?

Apa dia robot?

Robot saja punya perasaan.

"Aku nggak tahu dia bisa ngajak juga. Tapi tetep aja itu nyebelin."

Haruskah aku mencari pakaian yang terbagus? Akan aku cari sekarang.

________
TBC.

12 Juli 2023

 Free Thought [ GXG ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang