Hal yang paling sesali bagi Celsa hari ini adalah dia berangkat sekolah terlambat. Salahnya juga menolak tawaran Gama untuk datang bersama. Sudah sejak dua hari lalu Celsa tidak lagi menginap di apartemen Gama karena teman-teman Nathan sudah pergi dari rumah, dan entah setan dari mana sampai Nathan betah dan tinggal di rumah beberapa hari ini.
"Cepet berdiri!"
Celsa menoleh ke asal suara dimana Pak Damis tengah mengomel dengan tampang garangnya. Mata Celsa menyipit berusaha menghalau cahaya matahari yang hari ini begitu terik. Pandangannya mengikuti langkah kaki seseorang yang sudah ada di sampingnya dan meletakan tas ransel hitam begitu saja di lantai sebelum berdiri patuh menghormat menghadap tiang bendera.
Alvaro, lelaki itu tersenyum kecil saat mendapati Celsa terus menatapnya. "Kenapa bisa terlambat?"
Celsa berdeham pelan, menghilangkan pengaruh Alvaro. "Kesiangan."
"Ga ada jawaban yang lebih bagus lagi? Yang namanya terlambat pasti kesiangan."
Celsa mencibir. "Kalau tau ga usah nanya."
Mendengar kekehan dari sebelahnya, Celsa kembali menatapnya dengan wajah bingung. Apa yang lucu?
"Hari ini Gama ga jemput lo? Kalau tau pasti gue gantiin." tukas Alvaro. "Bercanda." sambungnya melihat wajah sungkan Celsa yang seakan mengatakan segalanya. Hubungan mereka. Mungkin Celsa hanya ingin menjaga persaan Gama saat ini.
Alvaro. Lelaki yang banyak disegani banyak wanita nyatanya bisa galau hanya karena satu perempuan. Dan itu Celsa, gadis yang saat ini masih menetap di hatinya.
Setelah beberapa lama mereka pun tidak ada lagi yang membuka suara. Keduanya hanya fokus pada hukuman yang mereka jalankan sampai akhirnya Alvaro menyadari bahwa Celsa sudah lemas.
"Lo neduh aja."
Celsa menggeleng, kepalanya pusing. Saat pandangannya menatap Alvaro yang dia lihat malah bayangan yang semakin gelap, sekitarnya tak bisa ia lihat dengan jelas. Celsa menggeleng berusaha mengusirnya, namun keringat malah semakin membanjiri. Alvaro panik saat setelahnya Celsa terjatuh ke arahnya.
"Celsa!" panik Alvaro menepuk pipi Celsa yang terasa dingin.
Tanpa bantuan siapapun, Alvaro pun mengangkat tubuh lemas Celsa menuju uks agar bisa ditangani.
15 menit kemudian, Celsa pun tersadar. Gadis itu tampak terkejut saat melihat Alvaro saat kali pertama membuka mata.
Melihat kedua mata Celsa yang terbuka, Alvaro bernafas lega. "Syukur lo udah sadar."
"Tadi gue pingsan ya?" Celsa menatap Alvaro sembari mengerjab.
Alvaro berdeham. "Lo pasti belum sarapan kan? Kebiasaan kalau pagi ga pernah makan! Lo punya maag Cel, harusnya dihati-hati malah disengaja ga sarapan."
Celsa terpaku dengan omelan Alvaro yang lebih mengarah pada rasa kawatir. Tidak. Celsa tidak senang, tapi dia malah segan kepada Gama, seakan-akan untuk bercakapan dengan Alvaro itu salah walaupun saat ini tidak ada Gama.
"Lo minum obatnya."
"Emm." Celsa menolak. "Nanti aja."
Alvaro menatapnya tajam. "Jangan bikin gue paksa. Cepet!"
Celsa menghela nafas, menerima satu butir obat dan air putih yang segera ia tenggak dan kembalikan pada Alvaro lagi.
Brak
"Celsa!"
Rasanya pintu uks seperti akan copot karena dobrakan kasar itu. Dan yang pasti bukan lain selain Gama pelakunya. Di Sma Tunas Bangsa tidak ada yang seberani Gama seperti saat ini. Lelaki itu datang dengan raut wajah cemas, namun detik berikutnya wajahnya berubah pias kala menyadari kehadiran orang lain di ruangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY FAULT
Teen FictionCelsa mengira menjadi kekasih bayangan untuk Alvaro sudah cukup baginya. Tetapi nyatanya ia tak puas untuk hal itu, ia ingin Alvaro sepenuhnya bukan hanya menjadi nomer dua untuk lelaki itu. Ketika semuanya semakin sulit dijalani, tiba-tiba saja Ga...