Celsa menghampiri Gama yang sedang menunggunya untuk mengambil bagian bakaran. Mereka sengaja sedikit menjauh dari orang-orang karena ingin memiliki waktu berdua.
Celsa menyodorkan satu sate jagung bakar pada Gama. "Cobain. Enak."
"Enakan punya lo."
Celsa yang sedang menggigit marsmellow bakar menatap Gama terkejut. "Oh lo mau yang ini? Bentar gue ambilin."
Gama menggeleng, menahan tangan Celsa yang akan pergi.
"Aneh. Ini juga enak, tapi tinggal dikit." kata Celsa tak berhenti menguyah sembari memegang selimut tipis yang ia sampirkan di bahunya.
Gama tersenyum kecil, memperhatikan Celsa yang tampak senang melahapnya. Gerakan bibir Celsa yang sedang menguyah membuat Gama salah fokus, memperhatikan bagian itu lamat. Dengan gerakan yang tiba-tiba, Gama pun mendekatkan wajahnya, menggigit sisi marsmellow yang sedang berusaha Celsa gigit.
Kedua mata Celsa membelak, merasakan bibir Gama juga ikut menempel di bibirnya. Namun dia malah melihat Gama menyeringai sembari menguyah marsmellow yang telah dia dapat.
"Iya enak."
Kedua pipi Celsa memanas. Gama pintar sekali membuat jantungnya melompat-lompat.
Gama pun menoleh ke belakang melihat perapian yang tersisa laki-laki saja karena sudah menunjukan pukul 10 malam.
"Sana masuk tenda. udaranya makin dingin."
Pandangan Celsa tak memutus dari kedua pasang mata indah Gama. Mengulas senyum kecil yang membuat Gama merasa heran menatapnya.
Celsa merentangkan selimut yang tersampir pada pundaknya, mendekatkan tubuh mereka lalu memeluk Gama sehingga tubuh mereka tertutup oleh selimut. Celsa merasa ini adalah kehangatan yang sebenarnya, membenamkan wajahnya di dada bidang lelaki itu membuat Gama tersenyum dan membalas dekapannya.
"Kaya gini ga akan dingin." ujar Celsa sembari mencari posisi nyaman.
Gama suka menanti kebersamaan mereka seperti saat ini. Dengan Celsa, Gama bisa menunjukan sifat yang tak pernah dia tahu ada dalam dirinya.
***
Pagi ini mereka akan kembali ke kota. Semua orang sudah siap, Gama memaksa Celsa agar dia yang membawa barang perempuan itu. Kini di pundaknya terdapat dua tas, satu miliknya dan yang lainnya milik Celsa. Keduanya bergandengan tangan saat menuruni jalanan yang menurun dengan teman-teman mereka yang ikut merasakan kebahagian itu dari belakang.
"Aws!" Celsa memikik pelan dibarengi dengan langkahnya yang melambat dan kemudian berhenti.
"Kenapa?" tanya Gama ikut berhenti dengan teman-temannya juga Fana.
"Sepatu gue jebol." kata Celsa menatap sepatunya yang berlubang di bagian depan. Padahal sebelumnya baik-baik saja, tetapi mungkin karena jalanan yang menurun membuat sepatunya tidak kuat menahan tubuhnya.
Gama berjongkok, memegang sepatu Celsa. "Coba lepas." pintanya sembari membantu melepas sepatu berwarna biru itu dari kaki Celsa.
Gama memperhatikannya seksama, cukup lebar dan pasti tidak akan bertahan sampai mereka turun ke bawah. Pandangannya pun mendongak menatap Celsa yang senantiasa memegang pundaknya.
"Ini ga bisa di pakai lagi."
"Perlu gue panggilin osis Gam?" tanya Caka.
Gama menggeleng. "Ga usah." jawabnya lalu menatap Celsa lagi. "Lo gue gendong aja."
"Jangan. Gue berat! Mana jalannya ga bagus, nanti lo kesusahan."
"Ga ada cara lain. Lo mau kaki lo sakit nanti?" tukas Gama membuat Celsa terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY FAULT
Teen FictionCelsa mengira menjadi kekasih bayangan untuk Alvaro sudah cukup baginya. Tetapi nyatanya ia tak puas untuk hal itu, ia ingin Alvaro sepenuhnya bukan hanya menjadi nomer dua untuk lelaki itu. Ketika semuanya semakin sulit dijalani, tiba-tiba saja Ga...