Di sela mengobrol para orang dewasa, Eva yang biasanya tidak pernah tidur di atas jam 10 kini mulai menguap membuat ibu tertawa pelan.
"Ngantuk ya?" tanya Ibu yang diangguki Eva dengan mata sayu kantuknya.
"Ayo tidur. Udah jam setengah 11. Besok Eva harus sekolah." kata Ibu membawa Eva masuk ke dalam rumah.
Setelah ibu dan Eva masuk, Abah menatap Gama. "Gama, ayo ikut abah. Ada yang mau abah bicarain."
Melihat wajah abah yang sepertinya begitu serius mengucapkannya, Gama pun mengangguk dan mengikuti Abah dari belakang untuk menjauh dari Celsa yang setia memandangi mereka dengan kerutan dahi tampak bingung dan ingin tahu alasan yang membuat Abah ingin pembicaraan mereka dirahasiakan.
Kini keduanya berdiri berhadapan. Abah sempat diam beberapa saat meneguhkan hatinya sampai dia benar-benar yakin. "Maaf Gama, abah ga bisa bohong. Abah sangat senang kamu di sini, tapi abah ga bisa jadi pengkhianat buat papa kamu. Besok pagi papa kamu akan sampai di sini."
Gama hanya bisa diam mematung tidak tahu harus membalas perkataan abah bagaimana lagi. Dia tidak bisa menyalahkan abah sepenuhnya. Dia yang telah membawa kabur Celsa, entah cepat atau lambat hal ini pasti akan terjadi.
Abah menghela nafas merasa bersalah, menarik garis bibirnya tegang dan menepuk lengan Gama sebelum meninggalkannya yang hanya diam terpaku dan tak bergerak.
Saat di teras rumah, abah bertemu dengan Celsa yang setia menatap mereka sejak tadi. Melempar senyum tipis, abah terus melanjutkan langkahnya masuk dengan Celsa yang berjalan menghampiri Gama.
"Abah bicara apa sama lo?"
Gama belum siap menjawab, dia hanya Melihat wajah Celsa, Gama merasa menyesal untuk semua hal. Apakah setelah ini dia akan kehilangan Celsa lagi?
"Mau jalan-jalan sama gue?" tawar Gama membuat Celsa menyatukan alisnya terlihat jelas jika Gama sedang mengalihkan pembicaraan saat ini.
Keduanya lantas berjalan kecil di pinggir pantai yang sudah sangat sepi dan hanya terdengar deburan ombak menemani kesunyian mereka.
Setelah jauh mereka berjalan, Gama pun menghentikan langkahnya, menghadap Celsa lagi. "Apapun yang terjadi nanti, lo harus janji kalau kita bakal sama-sama terus. Lo mau janji kan sama gue?"
Aneh. Celsa seperti menggadapi orang lain bukan Gama. Lelaki itu tampak menyerah, hilang jalan dan tersesat. Apakah mungkin suasana hati Gama sedang buruk, sampai berkata seperti itu?
Celsa lantas mengangguk, merespon perkataan Gama dengan baik. "Gue janji."
"Sekarang bilang, kenapa lo keliatan gelisah?"
Gama menggeleng, menatap Celsa yang tidak lebih tinggi darinya. "Ga ada yang penting yang harus gue ceritain sama lo. Gue ga apa-apa."
Celsa tahu Gama berbohong, saat dia ingin menyambar perkataan itu, dia malah melihat Gama yang tersenyum menatap hamparan laut dengan kagum.
Tuhan bisa menciptkan alam seindah ini, dan Tuhan juga yang yang telah menciptakan Celsa untuknya. Saat ini, Gama tidak ingin membuat kata kagum untuk laut itu, tetapi dia ingin mengenalkan Celsa kepada pantai ini-berkata dalam hati jika suatu saat nanti, jika takdir berpihak pada mereka. Gama sangat ingin membawa Celsa ke sini lagi, tanpa kegelisahan dan kecaman dari orang-orang.
Gama melirik jam tangan yang melingkar di tangannya. "3 menit lagi jam 11. Sebelum itu gue mau kejelasan kita lagi."
Degup jantung Celsa menggila di sini. Melihat manik hitam lelaki itu yang begitu dalam menatapnya penuh ketegasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY FAULT
Teen FictionCelsa mengira menjadi kekasih bayangan untuk Alvaro sudah cukup baginya. Tetapi nyatanya ia tak puas untuk hal itu, ia ingin Alvaro sepenuhnya bukan hanya menjadi nomer dua untuk lelaki itu. Ketika semuanya semakin sulit dijalani, tiba-tiba saja Ga...