Bab 34.

27.3K 2.3K 80
                                    

Votenya kak, Gratis kok.

🌺selamat membaca🌺

Fajar telah menyingsing, melenyapkan kegelapan yang mendera bumi digantikan dengan cahaya matahari yang terang dan hangat.

Seorang gadis terlihat telah terbangun dari tidurnya bahkan penampilan telah rapi. Ia adalah Nesya. Gadis itu saat ini sedang mematut dirinya di depan cermin.

"Sudah selesai." Gumam Nesya.

Ia kemudian meraih ponselnya yang ada di atas nakas, membuka aplikasi berlogo hijau. Mencari kontak wali kelas mereka untuk mengatakan bahwa mereka tidak bisa mengikuti pelajaran dengan kata lain meminta izin.

Seperti apa yang ia ucapkan pada kakaknya tadi malam, hari ini Nesya akan mengajak kakaknya mengecek kondisi kaki serta jika memungkinkan ia akan meminta sang kakak melakukan terapi.

Nesya mematikan ponselnya lalu beranjak menuju meja makan karena Azhar sudah ia minta untuk menunggu di meja makan jika sudah siap.

Benar saja, saat Nesya memasuki ruang yang biasa mereka gunakan untuk makan, ia melihat kedua kakaknya sedang menunggu dengan masing-masing penampilan yang sudah rapi.

"Pagi kakak." Sapa Nesya sembari mendudukkan dirinya di kursi.

"Pagi juga." Sapa Arsyad sedangkan Azhar hanya mengangguk sembari tersenyum tipis.

Nesya ikut tersenyum. Ia memperhatikan satu persatu lauk pauk yang ada di atas meja. Terakhir, ia melihat piring Azhar.

Tidak ada lagi makanan tidak layak di piring milik sang kakak. Semenjak orang tua mereka meninggal hampir dua minggu yang lalu, Arsyad mulai memimpin rumah ini. Ia memerintahkan para pelayan untuk tidak membedakan Azhar. Jika mereka menolak, Arsyad mengancam akan memecat mereka.

Memang Arsyad sangat bagus jika dijadikan pemimpin, sikapnya yang adil itu bisa mensejahterakan siapa saja yang ia pimpin.

Nesya jadi teringat sesuatu, setaunya keluarga Aditama memiliki sebuah butik yang selama ini dikelolah oleh Kanaya sedangkan Arsyad hanya memimpin perusahaan.

"Kak, butik milik ibu siapa yang pegang?" Tanya Nesya.

Arsyad menatap sang adik. Ia menggeleng pelan. "Tidak ada, butik nya udah dijual."

"Kenapa dijual? Kan ada aku yang bisa kelola." Ucap Nesya bersungut-sungut.

Bukan maksud Nesya memanfaatkan harta ibunya yang sudah meninggal, hanya saja ia dulu sangat ingin mempunyai butik dan mengelolanya dengan tangan sendiri. Tapi sang kakak malah seenaknya menjual butik itu.

Melihat adiknya yang bersungut-sungut tapi terlihat menggemaskan membuat Arsyad tertawa pelan.

"Mau butik, hm?" Tanya Arsyad.

Mendengar pertanyaan itu tentu saja Nesya mengangguk antusias. "Mau!" Serunya.

"Baiklah, nanti kakak beli yang baru untuk kamu, tapi belum sekarang, kamu fokus sekolah saja dulu." Ucap Arsyad lembut.

Nesya mengangguk dan tersenyum cerah bak anak kecil yang diberi permen. "Oke kak, aku tunggu ya butiknya."

Azhar yang sedari tadi memperhatikan interaksi itu, tanpa sadar bibirnya ikut tersenyum. Hatinya menghangat saat melihat hubungan mereka yang semakin membaik.

Tidak ada rasa cemburu sama sekali saat melihat Nesya akrab dengan Arsyad. Ia hanya berharap, semoga keharmonisan ini akan terjaga.

Entah sejak kapan perasaannya pada Nesya lebih dari sekadar hubungan kakak adik. Perasaan yang mendorongnya untuk memiliki Nesya seutuhnya. Tapi Azhar akan berusaha untuk menekan perasaan ini agar hubungan mereka tidak merenggang.

Cinta Untuk Pria Bisu (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang