Bab 7 : Perasaan Itu Muncul Lagi

23 3 1
                                    

Tidak terasa jam menunjukkan pukul 14.00 sebentar lagi para siswa akan pulang ke rumah masing-masing. Mata pelajaran terakhir bagi beberapa kelas yang memiliki jadwal tambahan, seperti kelas dua belas yang bersiap dengan ujian mereka..

Sesampainya di kelas Arabella langsung menuju ke bangkunya, tempat di mana ia biasanya duduk. Tidak ada Adela di sana, hanya ada beberapa orang saja yang menghuni kelas, itu pun mereka tengah menidurkan diri di atas meja. " Nanti juga datang sendiri. " ikut menjatuhkan kepalanya di meja seperti teman sekelasnya yang lain.

Kepalanya masih memikirkan pertanyaan Dwipa. Ia tidak bisa dengan mudah menganggap bahwa sesi tadi sudah benar-benar selesai. Apa selanjutnya? Apakah memang seperti itu akhirnya? Jujur ia pusing dan lelah di saat yang bersamaan.

Semilir angin menerbangkan helaian demi helaian rambut milik Arabella. Bergerak ke kanan dan ke kiri seolah tengah mengikuti irama. Rasanya ia ingin tertidur untuk waktu yang lama, tanpa ada perasaan takut dan was-was.

" WOY BELA! " Panggilnya keras-keras dengan peluh yang mengucur di pelipisnya.

Arabella dibuat tersentak. Mengangkat kepalanya dengan segera sedikit menyipit menatap objek yang tidak begitu jauh dari tempatnya duduk. Sahabatnya datang dengan raut wajah yang memerah. Ada tatapan kesal dan juga bahagian di sana. " Maaf, Del. Habisnya lo ngilang gitu aja sih, kan tadi gue suruh lo buat nunggu. Harusnya gue yang marah dan juga kesal, bukan lo. " memanyunkan bibirnya. Tidak mau disalahkan sepenuhnya oleh Adela, sahabatnya.

" Ya-habisnya lo lama." duduk di samping Arabella. Mengambil kipas angin mininya di dalam tas berwarna biru kesayangannya. " Sejuknya. " memejamkan matanya, menikmati udara yang keluar dari benda mini itu.

" Kok, lo nggak marah? " penasaran dengan respon yang diberikan sahabatnya. Biasanya mereka akan beradu argumen untuk hal-hal kecil seperti barusan.

Suasana hatinya sedang baik sekarang. Tidak mungkin ia mengacaukannya dengan marah dan juga kesal pada sahabatnya. " Lo tau nggak? " tanya Adela serius.

Lama ia menatap kedua bola mata milik sahabatnya itu. Lalu berakhir gelengan pelan setelahnya. " Enggak. " jawabnya polos.

Seperti biasa Adela memperlihatkan bombastic side eye nya. Tapi dengan cepat juga ia merubahnya. "Lo tau, ternyata Kak Vano sama Kak Sintiya itu sepupuan. " menjelaskan dengan semangat ditambah dengan mata yang berbinar. Ternyata yang buruk itu hanya ada di dalam pikirannya. Harusnya tadi ia tidak merasa sakit melihat kedekatan mereka berdua di atas panggung sana. " Gue nggak nyangka kalau jalan percintaan gue semulus ini, Bel. " berteriak histeris setelahnya. Membayangkan bagaimana hari-harinya jika ia berpacaran dengan Vano, kakak kelasnya.

" Berisik banget kayak petasan! " ucap Deon teman sekelas mereka. Sebenarnya laki-laki itu tengah tertidur pulas di bangku paling belakang mereka, tapi terpaksa harus bangun kala mendengarkan teriakan Adela.

" Kesurupan hantu teater lo, Del? " sudah bangkit dari tempatnya, menenteng tas berwarna hitam. Bersiap untuk pulang.

" Sialan lo! Hantunya lo, De! "

" Oh, ya? " tanya laki-laki itu sedikit meledek. Lalu melesat kabur setelahnya.

" Menurut lo gimana, Bel? Kira-kira mau pakai ada apa, ya? Ala-ala kore cocok nggak, sih? Cocoklah ya, kan gue cantik. Fix no debut! " pujinya pada diri sendiri.

Sahabatnya itu bahkan belum sepenuhnya mengetahui tentang Vano namun dengan mudahnya ia mengatakan hal yang tidak sesederhana jika sudah dijalankan. " Mending haluin idol lo aja ya, Del! Lebih baik dan cocok buat, lo. "

" Tapi, gue butuh Kak Vano. "

"Tapi, Kak Vano nya enggak. "

" Bangke lo! "

🤍🤍🤍🤍🤍

Bel pulang sekolah berbunyi dengan lantang membuat para siswa berhamburan berlarian melewati lorong. Tertawa bersama atau berjalan sendiri melewatinya. Cerita bahagia diiringi dengan tawa mereka meramaikan tempat itu yang sebentar lagi akan terasa sangat sepi.

Dwipa bangkit dari duduknya. Merapikan semua alat tulis yang ia bawa. Sudah sedari tadi ia menunggu momen ini, momen yang pas untuknya pergi. Laki-laki itu keluar mengenakan hoodie hitamnya. Meninggalkan tas hitam di atas meja. Berjalan cepat menuju ke atas rooftop, tempat di mana biasanya ia menghabiskan waktu dan memaki semua takdir-takdir jahat yang menimpa dirinya.

Hembusan angin sore hari itu, membuatnya ingin melangkah lebih jauh. Mendekat ke pagar-pagar pembatas rooftop. Membuka tudung hoodie yang ia kenakan. Merentangkan tangan menghirup udara dalam-dalam, seolah itu adalah hari terakhirnya menghirup udara. Atau memang seperti itu jalan cerita yang akan ia buat?

" Bahkan ketika gue minta untuk dijemput, nggak ada yang mau dengerin gue. " memandang ke arah langit. warnanya sudah tidak secerah tadi, entah mengapa waktu sangat cepat memutar balikan semuanya, termasuk isi hatinya.

Bukankah tadi ia terlihat baik-baik saja di atas panggung. Memperkenalkan diri, menanyai mereka satu per satu, tertawa saat melihat sahabatnya memainkan peran dengan baik. Mengikuti pelajaran sampai selesai, lantas apa yang membuatnya kembali ke arah yang salah ini? Apa karena rasa sepi? Atau kerinduan yang sangat mendalam. Sampai detik ini pun ia belum menemukan jawaban yang pasti.

Sekarang, di atas sana hanya tersisa awan abu-abu yang menggumpal. Tanpa menyisakan warna jingga yang dikagumi oleh orang-orang.

" Apa yang bisa gue lakuin? Selain nunggu dan nunggu. "

Laki-laki itu membulatkan tekadnya. Menaiki pagar-pagar pembatas rooftop. Jika dulu ia takut akan ketinggian sekarang tidak lagi. Bahkan wajahnya datar saja ketika ia hampir terpeleset di atas sana. Apa yang membuatnya ragu? Jika pada akhirnya, semua hal yang telah terjadi adalah atas keinginan dan keputusannya.

" Mama, Papa......

" Aku kangen kalian. Kangen larangan kalian."

" Sejauh apa pun aku nyoba buat biasa-biasa aja, tetap nggak bisa."

" Ternyata aku nggak pernah benar-benar bisa ikhlas untuk segala hal yang telah terjadi. " menunduk ke atas melihat para siswa yang mulai menghilang dari lapangan.

Air mata menggenang di kedua pelupuk mata laki-laki itu. Tinggal satu kedipan maka semua akan tumpah membasahi pipinya. Sakit dan semua perasaan bersalahnya kembali menjalar ke seluruh tubuh. " Gue adalah pembunuh."

" Kalian berdua pergi itu semua gara-gara a-" dengan nada yang bergetar. Laki-laki itu menangis sesenggukan.

" Ma, Pa, nggakpapa kita nggak ketemu di tempat yang sama. Setidaknya rasa sakit ini akan hilang dengan segera. "

Brughhh......



Bersambung

Sampai Bertemu Kembali Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang