Bab 17 : Janji, Ya?

19 2 1
                                    

Saat semua siswa sudah keluar untuk beristirahat dan memilih pergi ke kantin. Arabella, Adela dan Deon malah memilih untuk diam di kelas. Sekedar untuk saling melemparkan candaan mereka.

" Sumpah lo keren banget pas bacaain puisi itu, Bel. " Ucap Deon duduk di atas meja yang jaraknya tidak jauh dari Arabella dan Adela. Laki-laki itu sibuk memainkan ponselnya, memainkan game favoritnya.

" Bela doang? Gue nggak? " Tanya Adela memanyunkan bibirnya, tidak terima dengan laki-laki itu.

" Enggak! " Jawab Deon, melirik Adela untuk sebentar kemudian kembali fokus pada ponselnya.

Arabella selalu suka melihat kedekatan mereka bertiga. Suka saat Adela selalu adu argumen dengan Deon, karena itu adalah hal yang tidak bisa keduanya lewatkan, terlebih lagi mereka adalah teman SMP, jadi tidak akan ada rasa canggung dalam candaan yang mereka lemparkan. " Lo lagi jatuh cinta sama manusia modelan kayak gimana, De? " mengingat beberapa waktu yang lalu puisi yang dibawakan Deon adalah Cinta dan Benci Karya Chairil Anwar.

" Kenapa lo nggak tanya benci sama siapa, Bel? Kenapa harus cinta. " tanya Deon. Mematikan ponselnya, mencomot makanan yang dibawa oleh Adela.

" Buat apa? " Tanya Arabella menaikkan salah satu alisnya. Ikut merasakan jajanan dan juga buah segar yang dibawa Adela. " Cinta dan Benci adalah puisi dengan tema cinta dalam diam, De. Dan sudah pasti lo benci sama diri lo sendiri. "

" Anjay banget ya kalia-" Deon menutup mulut Adela agar tidak membuat keributan.

" Kenapa gue benci sama diri gue sendiri? " Tanya Deon santai.

Arabella menyelesaikan Kunyahannya, menelannya secara perlahan. " Karena sampai saat ini lo masih belum punya keberanian buat nyampein semua perasaan lo ke dia, De. "

" Jadi kapan? " Tanya Adela yang sudah masuk ke dalam pembicaraan dua manusia itu. Mengurungkan niatnya untuk marah-marah.

Deon menunduk melihat ke arah Adela. " Nanti. " Mengacak rambut Adela. " Kepo banget jadi orang. " Melengos pergi meninggalkan keduanya.

" KEBURU DIAMBIL ORANG! " teriak Adela agar didengar oleh laki-laki itu.

" GUE REBUT LAH! " Teriak laki-laki itu tak kalah sengit.

Adela menunjuk ke arah Deon yang sudah menghilang dari pandangan mereka. " Bela, bilangin ke Deon kalau itu nggak baik!" Mengadu ke Arabella, memasukkan semua makanan yang ia miliki ke dalam mulutnya.

" Adel, sesuatu yang ditakdirkan buat kita akan selalu menemukan jalannya untuk pulang. Nah- saat ini Deon sedang berusaha buat nemuin jalan yang memang ditakdirkan untuknya. Meskipun sedikit melawan takdir yang ada. "

" Begitu juga lo Del, nggak usah terburu-buru nanti juga dipersatukan oleh takdir. "

" Tapi gue mau cintain Kak Vano dengan ugal-ugalan aja, Bel. Masalah takdir belakangan. " Ucap perempuan itu bersemangat.

" TERSERAH LO. " ucap Arabella kehilangan kesabaran menghadapi tingkah laku sahabatnya.

" Keep calm, bro! Tarik napas secara perlahan. " Memasukan potongan buah pisang ke dalam mulut Arabella " Biar sehat dan nggak lupa kalau cinta gue ke Kak Vano luar biasa dalamnya. "

" Muntahin jangan? "

" Jangan, Anjir! Gue motongnya pakai perasaan. Gila aja main muntah-muntahin." Menutup mulut sahabatnya, mencegah agar Arabella tidak mengeluarkan beberapa buah yang sedang perempuan itu makan.

🤍🤍🤍🤍🤍

Adela berjalan semangat menuju ke ruangan teater. Mencari keberadaan Vano, laki-laki yang berhasil mengalihkan dunianya belakangan ini. Membuatnya merasa jauh lebih bersemangat dan ingin melangkah tanpa ada keraguan.

Perempuan itu membuka pintu teater secara perlahan, hanya ada Sintiya dan beberapa orang yang tengah sibuk membereskan sesuatu di dalam ruangan besar itu.

" Eh Adela. " Sapa Sintiya ramah. " Mau cari Vano, ya? " Tebak perempuan itu sambil senyum-senyum. Adik kelasnya ini memang tidak bisa menyembunyikan perasaanya pada satu laki-laki itu. Kadang ia bertanya sisi menarik mana yang dimiliki oleh sepupunya sampai ada seorang perempuan yang mengaguminya.

Adela sedikit cengengesan, malu-malu mengakuinya. " Jadi di mana, Kak? " Meskipun begitu ia tetap menanyakan keberadaan laki-laki itu.

Sintiya tengah berfikir sejenak, mengingat kegiatan apa yang dilakukan Vano di hari jumat ini. " Kayaknya Vano di lapangan deh. Lagi main basket saman teman sekelasnya. "

" Oh. Oke. " mengangguk. Menyodorkan snack pada Sintiya. " Buat kakak. Makasih ya. " Melangkah pergi meninggalkan ruangan teater itu.

🤍🤍🤍🤍🤍

Sementara di lapangan Vano berlarian ke sana kemari. Membawa bola berwarna orange di tangannya, tidak memberi celah pada mereka yang ingin merebut miliknya. Laki-laki itu bangga saat berhasil memasukan bola basket itu ke dalam ring.

Laki-laki itu mengusap keringatnya. Rasanya sangat haus karena telah lama bermain di lapangan. Ia memilih menepi ikut duduk di samping seseorang. Seseorang yang sedari tadi memperhatikannya, seseorang yang berteriak paling kencang saat ia berhasil memasukan bola.

" Minum, Kak. "

" Makasih, Del. " Meneguk minuman yang diberikan. Ia tidak tahu kapan mereka mulai sedekat ini. Biasanya mereka berdua hanya sekedar menyapa saat tidak sengaja berpapasan, namun sekarang sudah berbeda. Perasaannya tumbuh seiring berjalannya waktu.

" Capek ya, Kak? " Tanya Adela melihat ke arah sampingnya. Terlihat sangat tampan meskipun sedang berkeringat.

" Lumayan "

Mereka berdua hening untuk sesaat. Adela tengah sibuk memikirkan topik apa yang seharusnya ia bahas. Melihat betapa kacaunya penampilan laki-laki di sampingnya akhir-akhir ini. " Lo baik-baik aja kan, Kak? " semenjak mereka berdua semakin dekat tidak pernah sekali pun Adela memanggil Vano dengan panggilan ' Kamu ' lagi. Ia hanya merasa, ini jauh lebih nyaman. Dan ini memang dirinya.

Vano menutup botol minumnya. Meletakkannya di samping, baru setelahnya ia melihat ke arah Adela. " Kenapa? " sepertinya perempuan itu bisa membaca pikiran dan juga isi hatinya yang sedang tidak baik-baik saja.

Adela menarik napasnya pelan. " Gue cuma ngerasa lo beda akhir-akhir ini, Kak. Gue ngerasa dekat sama lo, tapi gue ngerasa ada yang aneh. "

" Kalau udah siap buat cerita, jangan segan buat ceritain semuanya ya, Kak. Gue siap buat dengerin. " tersenyum berdiri dari duduknya. Sedikit merapikam rambut Vano yang acak-acakan, kemudian pergi meninggalkan laki-laki itu. Yang pastinya dengan perasaan bangganya. Berhasil telah menyampaikan beberapa hal yang mengganjal di dalam pikirannya beberapa hari ini.

" ADEL " Panggil Vano dengan posisi yang sudah berdiri di belakang.

" IYA " Melihat kebelakang dengan jarak yang sudah semakin jauh.

" JANJI YA?! LO HARUS JANJI DENGERIN SEMUANYA! "

" IYA JANJI "

Apaan sih gemes banget.






Bersambung.........

Sampai Bertemu Kembali Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang