Bab 38 : Kehilangan Di Hari Itu

10 2 0
                                    

Hari itu, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke tujuh belas ia berada di atas panggung dengan naskah yang benar-benar sudah disempurnakan. Banyak pasang mata memperhatikan tidak banyak juga dari mereka yang mengabadikan momen-momen terindah itu.

Satu tangan melambai di belakang penonton. Entah apa yang dimaksud, laki-laki itu hanya tersenyum mengangguk. Ia tetap fokus pada apa yang harus ia tampilkan pada penonton.

" Dwipa, turun sekarang! "

" Om sama Tante-"

Belum sempat ia menerjemahkan apa yang dikatakan Vano. Laki-laki itu sudah harus mengambil beberapa tarikan nafas untuk kembali berbicara, melanjutkan dialognya. Sesekali ia melihat ke arah penonton, Mama dan Papanya tidak ada di sana padahal keduanya sudah berjanji akan datang untuk menonton dirinya.

Vano? Masih setia di belakang sambil melambaikan tangannya. Namun tidak lama setelahnya, laki-laki itu menghilang. Ia berlari ke belakang panggung, berbisik kepada Sintiya yang sebentar lagi akan masuk ke alur cerita.

Sintiya mendekat tanpa aba-aba, berbisik di telinga Dwipa. Kaget? Tentu ia kaget, karena selama latihan adegan itu tidak pernah masuk dalam alur cerita mereka.

" Dwipa, tante sama om kecelakaan. " Bisik Sintiya, baru setelahnya ia melakukan apa yang seharusnya memang ia lakukan di atas panggung sana.

" Apa yang kamu lakuin saat itu, Kak? " Tanya Arabella. Sedikit memotong cerita laki-laki itu.

Dwipa menggelengkan kepalanya pelan. Di sana lah titik terdalam kenapa ia sangat membenci dirinya. Kenapa ia mengatakan bahwa ia lah yang membunuh kedua orang tuanya. Laki-laki itu kembali menarik nafas, berusaha fokus dengan jalanan. " Aku nggak pergi, Bel. Aku lanjutin semua yang telah aku mulai. "

Beberapa detik setelah mendengar berita yang menyakitkan itu. Tubuhnya sempat kaku, namun tidak lama setelahnya ia kembali sadar. Ia harus menyelesaikan pertunjukannya di depan sana, di atas panggung yang luas. " Mama selalu bilang, apa pun yang terjadi kamu harus menyelesaikan apa yang kamu mulai. Jangan meninggalkan sesuatu dan membuat banyak orang kecewa. "

" Kalau waktu itu aku ngikutin kata hatiku, apa aku bisa benar-benar ikhlas, Bel? Apa aku benar-benar bisa melepaskan mereka? "

Setelah menyelesaikan pertunjukan di hari itu, ia segera berlari meninggalkan sorak sorai penonton. Mereka bertepuk tangan meriah, bangga menonton pertunjukan di hari itu. Semua bahagia, kecuali dirinya. Senyum, hanya tameng untuk menutupi rasa ketidakpercayaannya.

🤍🤍🤍🤍🤍

Selang beberapa menit ia sampai di rumah sakit. Kakinya melangkah lebar-lebar mengikuti Vano yang berada di depannya. Bahkan ia selalu berhasil mengimbangi langkah kaki sahabatnya itu. Satu kamar menyita perhatiannya kedua orang tuanya tengah terbaring di dalam kamar yang sama darah ada di mana-mana namun tidak satu pun dari mereka yang berada di sana membersihkannya.

" Tante, kenapa mereka nggak bersihin darah Mama sama Papa? " meminta penjelasan kepada Seina, lalu melirik ke arah Om nya. Tidak ada jawaban mereka semua diam.

Dwipa berjalan lemas mengambil kain putih. Berdiri di tengah-tengah ranjang Mama dan Papanya. Mereka berdua berpegang tangan satu sama lain. " Maaf Dwipa nggak langsung datang, Ma, Pa. " ucap laki-laki dengan suara yang bergetar.

Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. " Sekarang sudah tujuh belas tahun ya? Selamat ulang tahun anak Mama." bersusah payah mengangkat tangannya mengelus rambut anak semata wayangnya pelan. " Jangan nangis, ini hari bahagia kamu. "

Dwipa bersusah payah menyeka tangisannya. Tangannya membersihkan pelipis wanita itu yang dipenuhi darah. Lalu berganti ke arah papanya, mata pria itu terpejam. Namun tangannya masih mengelus belakang punggungnya. " Kamu anak yang baik, apa pun yang terjadi itu bukan kesalahan kamu. Semua terjadi karena memang harus begini takdirnya."

" Selamat ulang tahun ya, kado yang kamu minta sudah papa titipkan di tante sama om. Bahagia selalu anak papa. " Dwipa sangat tahu papa nya sangat bersusah payang mengatakan kalimat yang panjang itu. Hitungan detik suara nafas dan detak jantung pria di depannya tidak lagi terdengar. Suara sepi dan isakan tangis dari mamanya saja yang memenuhi ruangan itu.

Laki-laki itu menggelengkan kepalanya pelan. Tidak mungkin papanya pergi begitu saja bukan? Ini bukan mimpi, semua memang nyata adanya. Belum sempat dirinya menghapus tangisannya, kini giliran mamanya yang pergi meninggalkannya. Melihat dua pemandangan itu kakinya lemas badannya gemetar, air matanya keluar begitu derasnya. Ia bersimpuh di atas lantai dingin berwarna putih. Dokter sudah mengambil tindakan, namun percuma saja karena yang dilawan mereka adalah takdir. Mau tidak mau mereka harus merelakan kepergian dua orang itu.

Seina berhamburan berlari mendekap tubuh Dwipa, laki-laki itu menjambak-jambak rambutnya. " Kenapa Tuhan nggak kabulin permintaan aku, Tante? Kenapa mereka ambil semua yang berharga dalam hidup Dwipa? "

" Ini salah Dwipa ya? " salahnya karena datang terlalu lama.

" Mereka kecelakaan karena mau datang ke pertunjukan Dwipa ya? "

" Aku pembunuh mereka, Tante " semakin keras memukul-mukul dadanya.

Seina menggelengkan kepalanya, dibantu dengan Vano untuk menghentikan keponakannya itu menyakiti dirinya lebih jauh lagi. " No, tolong. " Menangis sejadi-sejadinya.

Kehilangan selalu berhasil merampas hak bahagia seseorang.

-Barsha

🤍🤍🤍🤍🤍

" Aku sakit, Bel. Aku hilang arah. Tapi, di satu titik aku bersyukur, karena akhirnya aku dipertemukan dengan kamu. Kamu yang menggagalkan rencana terakhir yang aku persiapkan. " memegang tangan perempuan itu yang memeluknya dengan erat.

" Tuhan gagalkan, karena ia tahu apa yang terbaik untuk kamu kak. "

" Nanti, aku mau ikut ke makam Tante sama Om. Aku mau nyapa mereka, aku mau bilang kalau anak mereka kuat banget, kuat dalam segala hal. " Ia selalu berharap jika nanti dirinya ke sana. Ia akan menceritakan banyak hal, menceritakan betapa kuatnya laki-laki yang saat ini ada di pelukannya.

" Maaf terlalu lama gantung hubungan ini ya, Bel. Tapi, satu hal yang harus kamu tau, aku sayang kamu. Aku nggak mau kamu hilang, mungkin cara aku aja yang salah. " memainkan spionnya. Melihat wajah perempuan itu yang bersemu merah.

Entah untuk ke berapa, kali ini di bawah langit jingga lagi dan lagi laki-laki itu mengakui perasaannya terhadap perempuan yang berhasil menyelamatkannya. Menarik dirinya dari rasa yang menyakitkan.

" Janji ya kak, jangan minta yang aneh-aneh lagi ke Tuhan. "

" Iya bela, itu yang terakhir. Untuk sekarang aku mau fokus sama orang-orang yang ada di sekitar aku. "

Orang terdekat yang selalu berhasil meyakinkannya. Bahwa hidup yang lama adalah cara terbaik untuk menikmati rasa susah yang ada dalam hidup.

" Nanti kalau cerita kamu udah terbit kita ke taman bunga ya, Bel? "

Arabella menganggukkan kepalanya setuju. Mengiyakan apa yang laki-laki itu katakan.

Semoga semua berjalan sesuai alurnya, bahagia bersama dengan kisah-kisah indah yang diciptakan bersama.

-Alsava&Barsha




Bersambung-

Sampai Bertemu Kembali Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang