Bab 14 : Tanpa Melawan Arah

20 2 0
                                    

Arabella, siswa terakhir yang membacakan puisinya di depan kelas. Perempuan itu maju dengan langkah mantapnya, tersenyum melihat beberapa wajah teman-temannya yang sudah tidak sabar mendengar puisi yang akan ia bacakan di depan kelas.

" Sebelumnya terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya. Di sini saya akan membacakan puisi karya Dedik B. " ucap perempuan itu membuka sesinya.

Arabella mulai mengambil ancang-ancang, memperagakan gerakan yang sering ia latih saat berada di rumah, ada banyak sekali kata yang ditekankan perempuan itu. Tentu tidak seperti biasanya, ia memperlihatkan mimik wajah yang berbeda. Sampai-sampai semua bagai disihir oleh objek yang ada di depan mereka.

" Terimakasih. " ucap perempuan itu mengakhiri puisi yang ia bacakan

Tersenyum bangga dengan beberapa peluh yang terlihat di pelipisnya. Arabella menyadari bahwa dirinya hanya pandai dalam bidang ini dan non akademik, itu pun hanya beberapa yang dirinya kuasai. Sisanya ia hanya perempuan biasa yang berusaha keras untuk bersaing dengan ratusan siswa, mengalahkan ego, meyakinkan diri, sekaligus memantaskan diri untuk terus maju, melangkah ke depan dengan kemampuan yang ia miliki.

Sesi belajar di sore hari itu telah berakhir ditutup dengan tepuk tangan meriah oleh semua siswa X IPS 2, termasuk Intan, guru mereka ikut meramaikannya. Banyak pujian yang dilemparkan pada perempuan berparas manis itu, Arabella.

" Kerja yang bagus, Bel! " teriak Adela dari belakang sana dengan wajahnya yang kegirangan.

Arabella mengangguk, lalu kembali ke tempatnya duduk. Tidak tahu mengapa akhir-akhir ini ia selalu menjadi penutup dalam kisah-kisah indah. Padahal dirinya selalu ingin menjadi pembuka, untuk berjalannya sebuah cerita.

Berjalan tanpa melawan arah.

🤍🤍🤍🤍🤍

Dua laki-laki tinggi terlihat saling menatap satu sama lain, satu dengan posisi yang tengah bersandar di tembok dan yang satunya lagi tengah duduk di salah satu kursi. Guratan-guratan pertanyaan muncul dalam wajah mereka berdua. Kacau, perasaan ingin pergi dan menghilang menghantui salah satunya.

" Terus gue harus gimana, Dwip? " tanya Vano menundukkan kepalanya. " Emang nggak bisa ya kita semua kayak dulu lagi? Emangnya gue salah ya minta itu ke Tuhan? " tanya laki-laki itu lagi. Kepalanya sudah tidak menunduk, namun matanya memerah melihat objek di depannya. Meminta jawaban atas segala pertanyaan yang ia lontarkan.

Dwipa menarik napasnya pelan. Takdir kembali memperumit segalanya, semua hal yang harusnya berjalan sesuai alurnya kembali diputar balikan oleh-Nya. " Maaf ya, No. Gue nggak pernah tau ternyata diamnya lo selama ini, untuk nutupin semua masalah lo. " mendekat ke arah sahabatnya. " Gue pikir semua udah membaik, ternyata belum. " menepuk-nepuk bahu sahabatnya pelan.

Laki-laki itu mengusap wajahnya kasar. " Gue sakit, Dwip. Sakit. Tapi, nggak ada satu pun dari mereka yang ngertiin gue. Nggak satu pun dari mereka yang mau nanya tentang keadaan gue saat ini. Mereka sibuk dengan sandiwara mereka masing-masing. "

Hari ini untuk kali pertamanya Dwipa menyaksikan sahabat satu-satunya menangis di depannya. Sakit? Tentu hatinya juga merasakan sakit yang sama. Ia kehilangan kedua orang tuanya, sementara sahabatnya harus dihadapkan dengan perpisahan kedua orang tuanya. Tidak ada yang mudah saat perpisahan datang ke dalam hidup mereka. Mereka selalu dipaksa untuk bisa menerima semuanya.

Tidak adil, bukan?

Terdengar memusingkan, lantas apa yang harus mereka persiapkan jika semua itu datang tanpa aba-aba, selain mengatakan selamat kepada perpisahan.

" Gue, gue yang bakalan nanyain itu setiap hari sama lo. Gue yang bakalan selalu ada buat lo, No. " ucap Dwipa dengan suara seraknya. Mata laki-laki itu juga sama merahnya, sedaritadi ia selalu menahan untuk tidak ikut menangis. " Kalau dulu lo yang selalu menghibur gue, sekarang gantian gue, No. "

Dwipa kembali memutar kenangan-kenangan yang membuatnya teringat akan sahabatnya, sahabat yang selalu menemaninya saat ia benar-benar kehilangan arah. Laki-laki itu selalu mengatakan. ' semua akan baik-baik saja, seiring berjalannya waktu. ' Laki-laki itu bilang tidak ada yang perlu ditakuti. ' mereka tetap ada di sini. Merhatiin lo dari jauh. ' kata-kata itu selalu membekas untuknya. Dan bodohnya ia malah meminta kepada Tuhan untuk mati, menjemputnya. Membawa dirinya pulang ke tempat yang ia sendiri tidak tau kemana tujuannya.

" Lo, selalu bilang ke gue semua bakalan baik-baik aja kan, No? ini bukan akhir dari semuanya. Lo masih bisa melihat mereka, lo, pasti bisa. "

" Gue bisa, tapi gue masih nggak terima dengan alasan mereka. jadiin gue sebagai alasan untuk mereka bersama sampai detik ini, dan nyatanya apa? Berpisah juga, kan? Lo paling tau, kalau gue nggak suka dibohongin. " memukul meja di hadapannya, kemudian berdiri. Meninggalkan ruangan besar itu.

Dwipa tidak mengejarnya, membiarkan sahabatnya itu mencari ruang untuk sendiri. Sama seperti apa yang sering Vano lakukan untuknya. Dengan begitu laki-laki itu akan sadar atas tindakannya.

🤍🤍🤍🤍🤍

" Kak Dwipa. " panggil Arabella bersama Adela. Kedua perempuan itu berdiri tepat di samping motor besar milik Dwipa. Menunggu sedaritadi kehadiran sosok yang akhir-akhir ini selalu hadir ke dalam cerita hidupnya.

" Oh, hai. " sapa Dwipa tersenyum. Sedikit berlari untuk menghampiri kedua adik kelasnya itu. " Kalian nggak pulang? "

" Maunya sih pulang, Kak. " jawab Adela sambil memainkan ponselnya. " Tapi..." melirik ke arah Arabella.

" Tapi? "

" Tapi, mau bilang makasih dulu. " sambung Arabella. " Makasih udah kasih tau kalau Bu Intan suka puisi karya Dedik B. " tersenyum kepada laki-laki itu.

Beberapa waktu yang lalu saat mereka bertiga memilih untuk numpang neduh di rumah Vano, Dwipa sedikit membocorkan mengenai puisi yang disukai oleh guru Bahasa Indonesia mereka itu. Itu juga karena didesak oleh Adela yang sangat penasaran.

Dwipa sedikit tertawa menanggapi ucapan perempuan itu. Lucu dan juga sangat menggemaskan. Jadi alasan kenapa mereka belum pulang, karena ingin mengatakan terimakasih pada dirinya. " Terus gimana lancar?. "

" Lancar dong, Kak. " jawab Adela " Apa lagi Arabella, mantap lah pokoknya, Kak. "

" Jawab Iya dulu kek, Kak. " kesal Arabella saat laki-laki itu tidak mengiyakan ucapan terimakasihnya.

" Iya, Abel. Sama-sama.." terdengar sangat lembut dan juga tulus.

Arabella yang diperlakukan seperti itu, malah Adela yang kegirangan. Maklum ia tidak pernah melihat Arabella dekat dengan cowok selain Deon dan Georgi, papa perempuan itu. " Puas, Bel? "

" Biasa aja.. "

" Tapi lo suka, Kan " kembali menggoda sahabatnya.

" ADEL! " dengan wajah yang cemberut.

" Kak Vano nya mana, Kak? " sejak pagi tadi perempuan itu tidak melihat keberadaan laki-laki incarannya. Laki-laki itu seperti menghilang, ia sudah berusaha untuk mencarinya namun tetap tidak bisa ditemukan.

Dwipa dengan segera mengalihkan pandangannya ke arah Adela. " Udah pulang, Del. " jawab Dwipa. mengenakan helmnya.

Bohong

Menatap mata indah milik laki-laki di depannya.

Adela yang hendak kembali mengeluarkan pertanyaan dengan segera langsung ditahan oleh Arabella. " Yaudah kita pulang dulu, Kak. " menarik Adela agar tidak bertanya apa pun lagi tentang Vano. " Hati-hati, Kak Dwipa. " berjalan cepat meninggalkan area parkiran sekolah.

" Kalian juga. "

Adela sedikit menyenggol lengan Arabella membuat sahabatnya sedikit meringis dibuatnya. " Kenapa lagi? "

" Gue mau cari calon pacar gue lo malah ngalangin. Padahal kan Kak Dwipa salah satu sumber informasi yang gue punya, selain Kak Sintiya. "

" Lama-lama suka juga lo sama Kak Dwipa. "

" Idih ngaco! Kak Dwipa dunianya kan tentang lo, gue mah tetap Kak Vano seorang, Bela."

" Lo tau dari mana? " tanya Arabella pemasaran dengan apa yang sahabatnya katakan.

" Matanya bilang kayak gitu, Bel. "

Andai lo tau yang sebenarnya, Del.




Bersambung.....

Sampai Bertemu Kembali Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang