"Jadi, dia mau diapain?"
Jagad bertanya sambil menatapi dua orang yang duduk lesehan di lantai, sibuk menikmati ayam goreng dengan ekspresi semringah, persis bocah kelaparan. Pemandangan yang seminggu terakhir selalu dilihat di rumah si kakak.
Pertanyaan Jagad itu direspon Janu dengan lirikan penuh dendam. Kenapa tanya dia, dia sendiri bingung. Kalau saja bisa, sekarang juga ia ingin tendang perempuan yang sedang makan itu agar minggat dari rumahnya.
Tukang numpang tidak tahu diuntung. Sudah dibantu, malah makin membuat susah.
Harusnya, kemarin Janu tidak menolong orang itu. Harusnya dia tidak kasihan pada gadis kehujanan yang duduk di pinggir jalan dengan wajah babak belur itu. Mestinya ia biarkan saja perempuan itu di sana dan tidak turun dari mobil.
"Mas Jagad enggak makan?"
Di sofa, tangan Janu mengepal penuh amarah. Rumah siapa, makanan siapa, siapa yang ditawari. Dayita ini memang orang yang tidak tahu diri.
Jagad menggeleng. "Kamu dan Jaris saja yang makan."
Dayita berhenti mengunyah. Ayam goreng tepung yang tadi Jagad pesankan ia taruh di piring. Perempuan itu menatap Janu sengit.
"Mas Jagad enggak diboleh makan sama Janu?" tuduhnya tajam.
Janu yang mendengar itu hilang sabar. Alisnya mengait tak senang. "Heh, perempuan tidak tahu diri. Jangan sembarangan kamu bicara."
Dayita menggerakkan rahang penuh dendam. Matanya masih menyorot penuh amarah pada Janu. Jagad yang melihat itu dibuat terpingkal.
"Bukan gitu, Dayita." Jagad menengahi. "Aku belum lapar. Makan aja, lanjutin. Nanti ayammu dihabisin Jaris."
Gantian, Dayita menoleh pada Jaris. "Iya, Mas Jaris? Ayamnya mau kamu makan sendiri?"
Di kursinya, Janu berdecih sinis. Mas Jagad, Mas Jaris. Namun, padanya perempuan itu hanya memanggil nama.
"Heh, Dayita. Kamu tahu umur aku berapa?"
Tak menoleh, Dayita menggeleng. Dia membantu memberikan saos pada ayam Jaris.
"Aku ini tiga lima, Jagad tiga dua, Jaris tiga puluh. Kamu ja-"
"Aku dua puluh dua," potong Dayita.
"Aku tidak tanya umur kamu! Aku cuma ingatkan, bukan cuma Jagad dan Jaris yang harus kamu panggil dengan sebutan Mas!"
Di sebelah Janu, Jagad menahan senyum. Jaris sendiri hanya berdecak malas. Sedangkan Dayita, perempuan itu menengok pada Janu dengan satu alis meninggi.
"Umurmu tiga lima?"
"Ya! Makanya, sopan sedikit kalau bicara sama sa-"
"Kayak tiga setengah tahun kelakuannya. Marah, tantrum terus. Telingaku pengang, Mas Jaris." Dia menoleh pada Jaris sambil menggosok telinga dengan punggung tangan. Membuat ekspresi susah. "Tiap hari aku diomelin di sini," adunya lagi.
"Heh, Dayita!" Janu menaikkan nada. "Gimana aku tidak mengomel? Kamu selalu menolak tiap aku suruh pulang! Kamu kira rumahku ini panti penampungan gelandangan?"
Dayita menaruh ayamnya kasar. Perempuan itu menunduk, pelan-pelan ia terisak.
"Jangan gitu, Mas," tegur Jagad pada Janu. "Kan nangis dia!" Ia menyalahkan.
Pria itu berjongkok di samping Dayita. Bahu perempuan itu bergetar samar, suara sedu-sedannya terdengar lirih. Jagad iba.
"Mau ikut ke rumahku aja, Dayita?" tawar Jagad lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Dayita
RomanceKabur dari rumah, Dayita menumpang, lalu merecoki hidup tiga bersaudara. Janu, Jagad dan Jaris dianggap Dayita sebagai malaikat yang dikirim untuk sedikit mengobati hati. Tiga pria itu menolongnya tanpa pamrih. Namun, tak Dayita duga ia akan menget...