Bab 39

168 26 1
                                    

Alika keluar dari sebuah butik dengan wajah semringah. Perempuan itu tersenyum-senyum mengingat kalau secepatnya, ia akan dilamar. Akhirnya, penantian bertahun-tahun akhirnya akan usai.

Sebenarnya, dua tahun lalu ia dan Jagad sudah akan mengadakan acara lamaran. Alika pikir, jika sang kekasih datang bersama keluarga besar tanpa pemberitahuan, Ibunya akan luluh. Namun, ternyata keteguhan hati Ibunya Alika tak bisa dianggap remeh.

Dua tahun lalu Jagad dan keluarganya diusir. Arini masih belum sudi memberi restu. Lamaran dan rencana pernikahan pun gagal. Lain dengan sekarang.

Saat ini Ibu sudah setuju. Pun Jagad bersedia untuk mengulang lamaran itu, memboyong kembali keluarganya untuk meminta Alika secara resmi. Karena itu, Alika sungguh senang.

Karena begitu senang, sepulangnya dari butik, Alika tak langsung kembali ke rumah. Perempuan itu menyempatkan diri menemui Rendi. Kebetulan ini adalah jam pulang kantor lelaki itu.

"Nggak masalah kamu jemput aku?" Rendi tampak terkejut melihat Alika  selepas ia meninggalkan gedung kantor.

Pria itu melihat kanan dan kiri dengan sorot waspada. Takut ada orang yang memergoki kebersamaannya dengan Alika.

"Tenang aja, Ren. Kita aman. Enggak ada yang bakal mergokin kita," yakinkan Alika percaya diri.

Rendi mengangguk saja. Ia pun memutari mobil Alika, duduk di belakang kemudi, lalu pergi ke tempat yang kekasihnya tunjuk. Menghabiskan waktu bersama penuh tawa, layaknya kekasih kasmaran yang berbahagia. 

***

Jaris yang baru melepas helm mengernyitkan dahi keheranan. Lelaki itu menengok ke belakang, depan, kiri, lalu kanan. Pria itu menatap Dayita yang duduk di trotoar, lalu turun dari motor.

"Kamu habis dari mana?" tanyanya makin melipat dahi. Wajah Dayita tampak pucat.

Beberapa saat lalu Jaris menerima panggilan dari gadis itu. Dayita minta dijemput. Jaris kira perempuan itu habis jalan-jalan dengan teman karena alamat yang dibagikan bukan lokasi sekolah tempat Dayita mengajar. Pun sekarang sudah pukul delapan malam.  Namun, setelah menemukan wajah pasi gadis itu, ia jadi sangsi Dayita habis jalan-jalan.

"Yiyit?" Jaris memegangi lengan gadis itu.

Dayita mendongak. Tatapan matanya terlihat tak fokus. Perempuan itu membuka mulut, seperti hendak berucap, tetapi kemudian menggeleng, lalu diam. Begitu terus sampai tiga kali, Jaris dibuat makin bingung.

"Kamu kenapa, sih?" Jaris mulai panik ketika ingatan soal peristiwa buruk yang menimpa Dayi tiga tahun lalu menyeruak di ingatan. "Kamu mabuk?"

Jaris mendekat, membaui Dayita. Tidak ada bau minuman. Kening gadis itu berpeluh, tetapi lengan yang lelaki itu pegangi terasa dingin.

"Yiyit?" panggilnya ulang.

Dayita menoleh. Gadis itu menggeleng, lalu menunduk. Air matanya mulai berjatuhan.

"Aku harus apa, Mas Jaris?"

Jaris benar-benar panik sekarang. Ia memeluk Dayita. "Kenapa? Cerita, biar aku bisa bantu? Kamu dikerjain lagi?"

Tangisan Dayita makin kencang. "Aku harus apa, Mas Jaris? Aku harus gimana?"

"Masalahnya apa?" Jaris terdengar putus asa. Ia rangkum wajah Dayita, membuat gadis itu mendongak. "Jawab. Kamu dikerjain lagi, kayak tiga tahun lalu? Ada yang gangguin kamu?" 

Dayita menggeleng. Ia coba meredam tangis. Tangannya sibuk mengusapi air mata.

"Mas, antar aku pulang, ya? Kakiku gemetar, aku bingung sampai enggak bisa mesan atau nyari taksi." Ia menangis lagi.

Beautiful Dayita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang