Jagad datang ke apartemen Janu sepulang bekerja. Pria itu menemukan kakaknya dan Dayita masih terjaga. Mereka duduk di ruang tamu, menikmati tayangan televisi yang Jagad yakin tidak benar-benar ditonton.
Sejak datang tadi, Jagad sudah merasa ada yang lain dari Dayita. Senyuman perempuan itu tak selepas biasa. Dayita juga tak banyak bercerita, sedari tadi hanya duduk bersandar ke sofa, seolah tak punya tenaga. Tatapan matanya juga sayu, sama sekali tak tampak antusias.
Jagad juga sadar kalau sejak tadi Janu terus melirik Dayita. Entah apa yang kakaknya itu pikiran, tetapi ia yakin lelaki itu sama resahnya dengannya.
"Jaris nggak datang?" Jagad buka suara karena mulai tak tahan dengan sunyi yang ada.
Dayita mengangguk tak bersemangat. "Tadi siang datang, bawain agar-agar sama mi instan sekardus."
Mengangguk, Jagad meringis dalam hati. Ia sudah memancing pun, Dayita masih belum cerita banyak.
"Nanti mau datang lagi. Katanya habis tutup toko, mau datang lagi. Kok belum nyampe, ya?" Dayita menoleh ke arah pintu.
Jagad yang mendengar itu segera menghubungi adiknya. Memastikan kalau si bungsu itu tidak lupa akan mampir. Bicara beberapa menit di telepon, Jagad mengakhiri panggilan.
"Udah di jalan dia. Tungguin sebentar lagi, ya?" katanya seraya menepuk-nepuk kepala Dayi. Pria itu menghela napas. "Dayi, jangan diem terus. Mas bingung."
Si perempuan melirik dengan alis berkerut. "Bingung kenapa?" Kepalanya mulai tegak.
"Kamu diem terus. Mas pengen dengar kamu ribut macam biasa." Jagad tertawa pelan seraya melirik kakaknya.
"Sudah bagus dia diam begini. Rumahku tenang," sambar Janu.
"Kamu kan memang enggak peduli samaku, Janu. Mana kamu peduli aku sedih apa enggak!" Dayita menatap tajam ke arah Janu, dibalas si pria dengan senyuman simpul.
"Jadi, kamu sedih? Kenapa? Karena kakakmu kemarin?"
Dayita mengangguk. Kepalanya tertunduk, jemari di atas pangkuan mulai saling meremas.
"Kok bisa, ya, Mas dia sebenci itu sama aku. Padahal, aku ini adiknya. Dari kecil, loh, dia begitu. Aku pernah tanya salahku apa, dia malah makin marah."
Dayita ingat Tamara pernah merusak sepatu barunya. Padahal, waktu itu ayah mereka membelikan Tamara sepatu baru juga. Lalu, perlakukan ibunya yang kerap lebih perhatian pada si kakak. Dayita bahkan pernah dilarang makan nasi goreng buatan ibunya, sementara Tamara tidak.
"Aku enggak pernah merasa sok cantik di depan dia. Mukaku biasa aja, 'kan?" Gadis itu mendongak, mengusap wajah dan meminta Jagad menilai.
"Iya, mukamu biasa aja."
Dayita mengangguk. "Tapi, dia selalu bilang aku sok cantik. Mau ngalah-ngalahin dia. Padahal, dia itu pernah ikut ajang putri-putrian, sedangkan aku enggak."
"Kakakmu itu pernah ikut ajang putri-putrian?" Janu ikut bergabung dalam obrolan itu. "Pantas kemarin dia menolak aku suruh hapus make up."
"Serius teman kencan butamu kemarin Kak Tamara, Janu? Ih, untung kalian enggak jadi. Aku enggak mau kakakku menikah sama laki-laki dingin macam kamu!"
Janu mengangkat alis tinggi. "Kamu kira aku suka pada kakakmu yang alisnya mirip sinchan itu?"
"Sinchan? Kamu aja yang enggak tahu make up, Janu! Sok ganteng gayamu! Yang bagus dari wajahmu itu cuma hidung, alis, sama matamu! Untungnya kamu itu tinggi, jari tanganmu panjang dan bagus, kukumu bersih, sama kulitmu coklat dan kelihatan jantan! Selebihnya, kamu juga enggak seganteng itu! Banyak gaya kamu, Janu! Banyak gaya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Dayita
RomanceKabur dari rumah, Dayita menumpang, lalu merecoki hidup tiga bersaudara. Janu, Jagad dan Jaris dianggap Dayita sebagai malaikat yang dikirim untuk sedikit mengobati hati. Tiga pria itu menolongnya tanpa pamrih. Namun, tak Dayita duga ia akan menget...