Bab 15

152 27 3
                                    

Kalau bukan karena desakan Ibunya, Tamara tak akan mau datang ke sini. Mendatangi pria lebih dulu sama sekali bukan gayanya. Ia cantik, nyaris menyabet gelar wanita paling cantik di negeri ini, kalau saja kesialan itu tak  datang.

Janu Adelano Wardana bukan pria tampan. Tidak setampan itu sampai-sampai ia harus menurunkan harga diri dan merangkak datang duluan ke sini, ke apartemen pria itu membawakan makan siang sebagai alibi. Namun, keuangan yang sudah menipis akibat kakaknya sudah tak mau mengirimkan uang beberapa minggu belakangan membuat Tamara tak punya pilihan lain.

Menenteng tas berisi sekotak makan siang yang ia buat sendiri, perempuan itu menekan bel apartemen Janu. Ia dapat alamat ini dari ibu si pria yang ternyata sangat berharap anak sulungnya yang sok tampan itu segera mendapat istri.

Pintu dibuka, sosok Janu dengan ekspresi menyebalkan muncul. Tamara memaksa diri tersenyum. Tanpa dipersilakan ia melewati pintu, kemudian masuk.

"Aku mau antar makan siang un--"

Perempuan itu membeku di tempat. Matanya membeliak macam habis melihat ular bicara. Tas di tangan terjatuh ke lantai.

Gadis di sofa itu juga menatap padanya. Alih-alih terkejut atau takut, gadis bermata coklat itu mata tampak memicing, seolah tak suka atas kehadiran Tamara.

"Kamu di sini?" Tamara maju, mendekat ke sofa yang diduduki tiga orang. "Kamu tinggal di sini?"

Tamara memberi senyum penuh cemooh. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuh. Amarah berkobar di mata.

"Suruh dia pergi, Mas Janu." Jaris berucap dengan dingin.

Janu mendekat pada Tamara. "Keluar," katanya sepakat pada usul Jaris.

Ujung bibir Tamara berkerut menahan emosi yang bergejolak. Pria yang kemarin merendahkannya, barusan mengusirnya tepat di depan gadis yang paling ia ingin kalahkan.

Tidak. Tamara tidak suka ini. Ia merasa harga dirinya sedang diinjak-injak.

Perempuan dengan gaun biru itu maju, mendekat pada Dayita. Tanpa pikir dua kali, tangannya  terangkat. Sebuah tamparan ia berikan ke pipi Dayita.

"Dasar jalang! Murahan! Kamu selalu lebih rendah dariku, Dayita! Pelacur!"

Tamara ditarik Janu. Perempuan itu meronta, ia berhasil lepas setelah menginjak kaki Janu dengan hak sepatu.

"Kamu pergi dari rumah demi tinggal di sini? Tinggal dengan banyak pria? Kamu dibayar oleh mereka, 'kan? Dasar jalang."

Jaris yang lebih dulu gagal mengendalikan emosi. Pria itu bangkit dari sofa, menerjang Tamara, mendorongnya sampai membentur dinding. Jaris menarik bagian depan gaun gadis itu, nyaris kepalan tinjunya menyasar wajah Tamara.

Janu adalah orang yang mencegah Jaris. Ia pegangi kepalan tangan adiknya. "Jaris, jangan," peringatnya sungguh.

Suara gigi Jaris yang beradu juga deru napasnya yang kasar terdengar sebelum pria itu menuruti perkataan kakaknya. Lelaki itu menyingkir dari depan Tamara, tetapi tak berhenti menghunuskan tatapan mematikan pada wanita gila itu.

"Kamu pasti senang di sini. Mereka membelamu seolah kamu itu seorang putri yang ha--"

Ucapan Tamara terjeda oleh suara debuman dan juga cipratan air. Barusan, Jagad melempar botol air tepat ke samping wajah perempuan itu. Mengenai dinding di belakang Tamara, kemudian pecah hingga isinya berhamburan.

Tamara mengerjap takut. Lain dengan pria yang tadi ingin memukulnya, lelaki di samping Dayita tampak tenang sekali. Orang itu bahkan tidak berdiri dari duduknya.

Beautiful Dayita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang