Bab 14

153 27 3
                                    

"Astaga! Ya ampun, dapat dari mana sepatu ini, Mas?"

Pekikan senang Alika terdengar habis Jagad memberikan buah tangannya. Tebakan pria ini benar. Hubungannya yang sempat diwarnai cek-cok beberapa waktu lalu akan segera harmonis lagi.

"Mas baik banget!" Alika menghambur ke pelukan kekasihnya. "Dapat dari mana sepatu ini? Ini mahal, loh, Mas? Enggak sembarangan orang bisa pakai."

Terima kasih kepada Dayita karena mau membantu Jagad. Gadis itu menghubungi pemilik brand sepatu yang kini sedang Alika coba. Tidak sulit bagi Dayi meminta dikirimkan satu sepatu. Sudah tak perlu menunggu, Jagad juga hanya perlu membayar separuh harga.

"Mas bisa dapat sepatu ini dari mana? Artis aja harus nunggu, loh, Mas?" Puas mencoba sepatu baru, Alika duduk di samping Jagad. Dipeluknya lengan lelaki itu. Senyumnya lebar sekali.

"Mas dapat dari teman. Temannya Mas orang dalam yang punya sepatu."

Kalau bukan sudah berjanji pada Dayita, Jagad pasti akan bicara jujur. Ia sendiri bangga karena mengenal Dayita yang ternyata sepupu dari seorang pengusaha ternama. Namun, si gadis sudah memintanya berjanji untuk merahasiakan itu.

"Kamu udah nggak marah?"

Alika menggeleng dengan senyum malu. "Dibelikan sepatu mahal dan bagus gitu, mana bisa marah."

Dan begitu saja. Pertengkaran mereka beberapa waktu lalu terlupakan begitu saja. Padahal, Jagad sudah punya terkaan kalau Alika akan minta putus. Sekali lagi, terima kasih untuk Dayita, perempuan yang sudah menciumnya, tetapi menolak disebut selingkuhan.

***

"Aku enggak mau lagi diajak Mas Jaris naik motor."

Perkataan Dayita disuarakan si perempuan dengan wajah penuh peluh, sedikit memerah dan bibir ditekuk. Gadis itu terduduk di emperan sebuah ruko, tak berhenti menatap penuh dendam pada sepeda motor besar warna merah yang terparkir di depannya.

Hari ini, Dayita awalnya senang sekali. Ia diajak Jaris jalan-jalan. Selama ini, tiap bertanya pada Janu di mana Jaris, Janu pasti akan bilang kalau si bungsu sibuk bekerja. Jadi, saat pagi tadi menerima pesan kalau Jaris akan menjemput dan mereka akan jalan-jalan, Dayita mana mungkin menolak.

Namun, rasa senang itu sirna saat tadi Jaris mengajaknya berkeliling dengan sepeda motor. Bukan perkara angin yang membuat rambut Dayi kusut. Bukan juga ukuran jok belakang motor yang kecil dan sedikit lebih tinggi dari motor bebek biasa yang membuatnya kesulitan naiki atau turun. Namun, ini semua karena ulah Jaris.

Pria itu gila. Jaris mengemudikan motor seperti orang lepas kendali. Dayita merasa seperti terbang alih-alih naik motor tadi. Untung jantungnya tak sampai lepas.

"Segitu aja takut? Ah, kamu cemen." Jaris membukakan tutup botol air minum, kemudian diangsurkan pada Dayita. Gadis itu minum, ia hapus peluh di dahinya dengan tisu.

"Aku bukan cemen!" bantah Dayi setelah minum. "Mas aja yang naik motornya kayak mau terbang ke akhirat! Aku belum mati, belum ada jaminan aku bakal masuk surga. Dosaku banyak!"

Jaris terkekeh. Pria itu duduk bersila berhadapan dengan lawan bicara, kemudian menarik kaki Dayita agar lurus. Dilepasnya sepatu gadis itu sambil tertawa-tawa.

"Kakimu gemetar. Beneran takut?"

Dayita hanya memajukan bibir. Ia mengurut dada, berusaha menormalkan debar jantung yang masih tak beraturan.

"Ini di mana, Mas?" Dayita celingak-celinguk. Ruko itu ternyata tidak kosong.

Baru saja beberapa orang datang dengan mobil pick up, lalu membuka ruko tersebut. Dayita sudah akan beranjak, takut diusir, tetapi Jaris menahannya.

Beautiful Dayita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang