Dayita mengerucutkan bibir saat melihat Jagad datang menghampiri. Meski pria itu melempar senyum, ia pura-pura masih marah dan membuang muka.
"Udah lama?" tanya Jagad seraya duduk di sebelah Dayita.
Dayita langsung menoleh dengan alis menyatu. Tatapannya tajam, siap mengajak perang.
"Tiga tahun lalu, katanya bakal kasih tahu karyawannya Mas, biar kalau aku datang langsung dikasih masuk," protesnya. "Ini, aku masih disuruh tunggu di sini."
Dayita datang tanpa pemberitahuan. Perempuan itu sudah di depan ketika mengabari. Jagad bisa apa? Tidak mungkin ia tinggalkan rapat dengan para bawahan. Jadi, terpaksa Dayi diminta menunggu.
"Mas lupa, Dayi. Maaf, ya?" Jagad menarik jari kelingking Dayita. Mengerjap penuh permohonan pada gadis itu, ia setengah mati menahan diri untuk tak menggigit pipi si gadis ketika permintaan maafnya diterima lewat anggukkan kepala.
Dayita menyerahkan tas bekal yang dibawa. "Makan siang untuk Mas. Aku masak sendiri." Senyumnya mengembang.
"Nanti malam pulang ke tempat Tante lagi, 'kan? Jam berapa? Aku mau tungguin."
"Kenapa ditungguin?" Jagad membuka tas bekal. Mengeluarkan kotak makan dari sana, kemudian mulai menikmati isinya.
"Siapa tahu Mas butuh sesuatu? Kalau malam kan biasanya Tante udah tidur." Dayita membukakan botol air untuk kemudian diberikan kepada Jagad. "Pelan-pelan, Mas," katanya mengingatkan.
"Memang aku butuh apa?" pancing Jagad lagi usai minum.
"Apa aja. Pokoknya, selama Mas masih patah hati, aku mau nemenin. Aku enggak mau Mas jadi stres kayak yang dibilang Janu."
Sehari setelah acara lamaran yang batal, Dayita datang ke rumah Aron. Ia menunggu sampai hampir tengah malam, tetapi Jagad tak pulang. Kata Janu, pria yang patah hati memang biasa begitu.
Pria-pria patah hati akan menghabiskan waktu dengan banyak bekerja. Tidak pulang ke rumah. Lupa makan, kurang tidur. Menarik diri dari orang lain. Stres, kemudian mati.
Dayita tentu tak mau hal itu terjadi pada Jagad. Karenanya, ia sudah bertekad untuk menjaga lelaki itu sampai patah hatinya sembuh. Seminggu kemarin ia biarkan Jagad sendirian karena ingin memberi ruang agar pria itu bisa menenangkan diri. Sekarang tidak lagi.
"Aku bakal ingatkan makan. Suruh Mas pulang, kalau boleh biar aku jemput pas pulang kantor. Mas mau ke mana aja, aku temenin. Pokoknya, Mas perlu apa pun, aku bakal cariin."
Dayita mengusap noda sambal di sudut bibir Jagad dengan ibu jari. "Mas enggak boleh merasa sendiri apalagi stres cuma karena perempuan ular itu. Ya?"
"Janu bilang begitu ke kamu?"
Dayita mengangguk.
Si lelaki tersenyum simpul sambil mengunyah. Dayita sudah dibodohi, pikirnya. Stres? Omong kosong.
Jagad tidak stres. Ia banyak bekerja, karena memang sedang banyak proyek yang jalan. Bisnisnya berkembang, jadi ia harus pastikan semua berjalan benar. Banyak diam dan mengasingkan diri?
Yang benar saja. Jagad menolak bertemu beberapa teman karena tak mau dikatai aneh. Aneh karena alih-alih sedih, batalnya pernikahan dengan Alika malah mencipta lega yang luar biasa. Dan mabuk?
Astaga. Memang sejak dulu ia sesekali minum. Dayita saja yang tidak tahu.
"Jangan banyak-banyak sambalnya, Mas. Nanti kamu sakit perut. Kurangin, nah, segitu aja."
"Mau minum? Tunggu aku bukain."
"Sini, deketan dikit. Kamu keringatan, sini aku lap."
Stres karena batal menikah dengan Alika? Yang benar saja. Mana bisa ia begitu, sementara di dekatnya ada gadis manis bernama Dayita?
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Dayita
RomanceKabur dari rumah, Dayita menumpang, lalu merecoki hidup tiga bersaudara. Janu, Jagad dan Jaris dianggap Dayita sebagai malaikat yang dikirim untuk sedikit mengobati hati. Tiga pria itu menolongnya tanpa pamrih. Namun, tak Dayita duga ia akan menget...