Bab 10

173 30 6
                                    

Jagad berguling dari atas Alika, kemudian merebahkan tubuh ke samping si gadis. Lelaki itu membuka lengan untuk bisa dijadikan alas kepala si pacar. Mereka sama-sama tak bersuara selama beberapa menit setelahnya, sama-sama mengatur napas yang berkejaran.

Alika menarik selimut, menutupi tubuh mereka yang polos. Perempuan itu mendongak, menatapi wajah Jagad dengan sorot sendu.

"Besok kita dua tahun, Mas," ujarnya terdengar sedih. "Masih gini-gini aja."

Jagad mengusap wajah kekasihnya. Sorot matanya meredup. "Mas takut dilempar sepatu lagi sama Ibumu."

Niat Jagad adalah bercanda.engingatkan kekasihnya bahwa sudah tiga kali ia datang untuk meminta restu, tetapi selalu pulang membawa sandal ibunya Alika.  Namun, agaknya suasana hati Alika sedang buruk malam ini.

Alih-alih mentertawakan kelakar Jagad, perempuan itu malah bangkit dari kasur, kemudian mulai mengenakan pakaian.

"Aku, tuh, memang enggak pernah ada artinya buat kamu, Mas! Cuma perkara dilempar sepatu, kamu ngegantungin  hubungan kita terus-terusan!"

Jagad membawa tubuhnya duduk. "Menggantung hubungan kita? Kamu lupa berapa kali aku datang ke rumah orangtuamu dan terus ditolak?"

Alika menoleh dengan tatapan marah. "Jadi? Kamu menyalahkan orangtuaku, Mas? Memang mereka salah kalau pesimis sama kelakuan kamu?"

Tatapan Jagad berubah dingin. Pria itu bangkit dari ranjang, keluar dari kamar untuk pergi ke dapur mengambil minum. Jagad sedang meneguk air dari botol, ketika Alika muncul di ruang tamu. 

Mereka hanya bertatapan sejenak, sebelum Jagad duluan memalingkan wajah.

"Berhenti menyalahkan orangtuaku, padahal kamu yang enggak serius di hubungan ini, Mas. Aku tahu sejak dulu banyak perempuan yang mengejar kamu. Aku cuma salah satu yang bodoh, yang terus-terusan mau percaya sama janji palsu kamu."

Jagad meremat botol di tangan.

"Bagi kamu perempuan cuma mainan, kayak yang selama ini kamu lakuin. Bodoh banget aku percaya kalau aku bisa jadi satu-satunya untuk kamu?"

Usai memberi tuduhan itu, Alika pergi. Meninggalkan Jagad yang tetap  berdiri di tempat semula, berusaha menekan kemarahan yang dipunya. Selalu saja seperti ini.

Menurut pandangan Jagad, satu-satunya masalah di hubungannya dan Alika hanya restu orang tua si kekasih. Jagad bersedia segera menikah. Ia memang sudah yakin untuk mengakhiri masa lajang. Namun, mau bagaimana?

Orang tua Alika yang selalu menganggap Jagad masih nakal seperti waktu muda dulu. Ibunya Alika yang bersikeras tak sudi memberi restu karena masih mengingat kebiasaan Jagad yang suka berkelahi sewaktu sekolah.

Jagad sudah berusaha membujuk. Segala cara ia sudah lakukan. Namun, ibunya Alika keras hati dan terus menolaknya.

Setelah semua usaha yang Jagad lakukan, Alika masih menuduhnya hanya bermain-main? Yang benar saja. Jagad sungguh dibuat marah sekarang. Sangking marahnya, lelaki itu sampai tak menawarkan mengantar Alika pulang tadi.

Jagad berniat segera tidur untuk meredakan emosi. Ia tak akan mengejar Alika atau mereka akan bertengkar seperti yang sudah-sudah. Namun, setibanya di kamar, ponselnya berdering. Nama Janu muncul di sana.

"Kenapa?"

"Kamu jadi mampir, tidak? Dayita bersikeras kalau kamu tidak lupa mau mampir ke sini."

Jagad menepuk jidat, meraup wajah  kasar. "Aku datang."

"Kamu lupa, 'kan?" tuduh Janu.

"Aku datang, bentar lagi nyampek. Jangan bikin Dayi sedih."

Jagad mematikan sambungan telepon. Pria itu bergegas mandi, lalu segera berangkat ke apartemen Janu.

Beautiful Dayita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang