Bab 37

151 22 0
                                    

Janu tahu Dayita tak terlalu senang dengan sinar matahari. Kulit gadis itu biasanya akan merah-merah kalau terlalu lama terpapar sinar matahari. Terlebih, di cuaca macam sekarang, teriknya sampai membuat mata menyipit.

Sebagai hukuman karena sudah mengganggu ritual sakralnya bersama Nataya kemarin, Janu memberi hukuman pada si gadis. Kebetulan Dayita masih di rumah mereka sampai besok. Dayita harus berdiri di halaman belakang, di bawah teriknya siang sampai dua jam lamanya.

Inginnya melihat si gadis menyesal, Janu malah mendapat sebaliknya. Sudah berdiri di halaman, di tengah panasnya langit siang itu, Dayita bukannya menangis malah tersenyum-senyum. Janu dibuat makin kesal saat mendapati sorot mengejek di kedua mata gadis itu.

"Harusnya kamu menyesal, Dayita. Ada yang salah dengan otakmu, ya?" komentar Janu yang duduk di teras belakang, lengkap dengan segelas jus jeruk dingin di meja.

"Cuma dua jam, kok, panas-panasannya. Aku udah puas ngetawain kamu kemarin malam. Aku ceritain ke Mas Jaris juga. Mam-pus," balas Dayita dengan mata menyipit penuh kelicikan.

Janu mengetatkan rahang. Ia makin dongkol, tetapi berusaha tak tampak demikian. "Kamu tidak ceritakan pada Mas Jagadmu? Kalian belum berbaikan, ya? Dia masih belum memaafkanmu, 'kan? Ra-sa-kan!"

Janu puas menemukan raut muka Dayita mendadak mendung. Mata gadis itu tampak redup, kepalanya menunduk sedih.

"Masih saja cengeng, Dayita?" ejeknya merasa di atas awan.

"Kubilangin Mas Jaris kamu, lihat aja."

Janu tertawa kencang. "Kenapa tidak Jagad lagi? Dulu, apa-apa kamu selalu berlindung di ketiaknya Jagad."

Dayita makin menunduk. Mendengar Janu bicara begitu, ia malah makin sedih. Sedih dan juga rindu. Pikir Dayita, keputusan untuk pulang tahun ini sudah benar.

Ia kira kemarahan Jagad mungkin sudah habis. Pria itu akan bicara lagi padanya dan mau melihatnya lagi. Namun, yang ada Jagad malah semakin membuat jarak dengannya. Menganggapnya tak ada bahkan.

Dayita tak bisa mengendalikan diri. Tangisnya tumpah. Perempuan itu sibuk menghapusi mata dan pipi dengan punggung tangan, sementara di sana Janu terkekeh-kekeh.

"Jahat kamu, Janu. Jahat." Dayita sesenggukan.

Panasnya mentari hari ini terasa tidak ada apa-apanya dibanding sedih yang sekarang Dayita rasakan.

"Untuk apa kamu pulang kalau begitu? Jagad juga masih tak ingin melihat wajahmu. Pergi saja lagi." Janu makin semangat usai mendengar ada suara deru mesin mobil dari arah depan.

"Diem, kamu, Janu. Kamu enggak tahu kalau hatiku sakit?" Dayita menatap lelaki itu dengan pandangan benci. "Ja-ja-ngan ejek aku lagi. Aku udah sesedih itu karena Mas masih marah."

"Dia akan terus marah, sampai selamanya. Bisa apa kamu?"

Dayita berjongkok. Bahunya berguncang karena tangis yang makin parah. Bayangan Jagad akan selamanya memusuhi membuat ia sedih bukan kepalang.

"Panas!"

Seruan kencang itu membuat tangis Dayita terjeda. Perempuan itu mengaitkan alisnya yang memerah karena tangis saat melihat Jagad datang ke teras belakang.

Pria itu merenggangkan ikatan dasi di leher, membuka kancing lengan kemeja, lalu menggulungnya, kemudian menghempas bokong ke kursi kosong di sebelah Janu.

"Mau apa kamu ke sini siang-siang?" tanya Janu heran.

Jagad tak menjawab. Pria itu hanya melempar lirikan tajam pada kakaknya, sementara tangan sibuk mengambil sebatang sigaret untuk dibakar.

Beautiful Dayita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang