Bab 8

159 30 3
                                    

"Dayita!"

Seruan itu Dayita kenali. Suaranya tak asing, si gadis yang tadinya tertunduk seketika menegakkan kepala. Dilihatnya Jagad masuk dengan setengah berlari, tangis langsung tumpah.

"Mas Jagad." Dayita tersedu ketika Jagad menariknya ke dalam pelukan.

Rasa sedih, takut dan cemas yang dipunya, Dayi tumpahkan dalam tangis. Dipelukan Jagad, perempuan itu akhirnya merasa lega dan aman.

"Kamu mau ke mana? Kenapa pergi nggak bilang sama Mas dulu?" Jagad mendekap Dayita erat. Pria itu mengecup kepala si gadis beberapa kali.

"Aku disuruh pergi. Aku enggak boleh lagi di situ," adunya dengan terisak.

Jagad lantas melirik pada kakaknya. Tatapan datar dan dingin itu sarat dendam.

"Ada kapas sama Betadine, gak?" Jaris yang duduk di samping kursi Dayita bersuara. Dipeganginya telapak tangan si gadis yang lecet. "Tolong, dong?" pintanya pada salah satu pegawai di sana.

"Itu tanganmu kenapa?" Jagad mengernyit tak senang melihat luka yang Jaris maksud.

Dayita menjauhkan diri dari Jagad. Ia menoleh ke telapak tangannya. "Kena aspal pas aku jatuh. Aku dikejar beberapa preman tadi."

Kali ini Jagad dan Jaris serentak menghantamkan tatapan sengit pada Janu. Dayita ikut menoleh ke sana, kemudian alisnya terangkat tinggi. Heran mengapa Janu juga bisa ada di situ.

"Bukan sekali ini kamu kuusir," tutur Janu tenang. Tangannya mengepal saat menyadari betapa merah dan bengkaknya mata Dayita. "Kenapa sekali ini sampai berniat kabur? Biasanya, kamu kebal macam badak."

Dayita menatap benci pada Janu. Air matanya jatuh. Ia tak mau menjawab pertanyaan lelaki itu.

Janu mulai resah. Ia lebih bisa tenang kalau Dayita segera menyahut dengan omelan. Saat ini gadis itu cuma menatapi, tetapi dengan sorot tak suka yang membuat hati Janu tidak karuan.

"Kamu marah karena aku mengomel?" pancingnya belum putus asa. "Biasanya aku juga mengomel. Ka--"

"Kamu membentak, padahal aku sedang makan." Ujung bibir Dayita berkerut menahan tangis. "Kamu pernah dibentak waktu makan?"

"Keterlaluan kamu, Mas Janu." Jagad meraih kepala Dayita untuk ditempelkan ke dada. Dipeluknya lagi gadis itu. "Mas nggak tahu. Maafin Mas, ya? Mulai hari ini kamu tinggal sama Mas aja."

Tangis Dayita mengalun pelan. Bahu dan punggungnya bergetar samar. Suara isakannya terdengar amat sedih, hingga orang-orang di ruangan itu ikut bermuram.

"Dia bentak-bentak aku, Mas." Dayita mulai bercerita. "Padahal aku masih makan. Nasi di piringku masih banyak. Aku tahu dia jahat, tapi enggak duga akan sejahat itu."

Diomeli Janu bukan hal baru. Dayita sadar pria itu berhak melakukannya. Pun, selama ini ia berusaha tetap menerima dengan lapang dada, meski selalu menyahut. Namun, kemarin itu sungguh Dayita tak bisa terima.

Hatinya sakit diperlakukan demikian. Ia merasa macam orang yang tak boleh dapat makan. Ia merasa rendah sekali. Karenanya, Dayita nekat kabur.

Ia memang tak tahu harus pergi ke mana. Namun, luntang-lantung di jalan tampaknya lebih baik daripada harus dimarahi Janu lagi saat makan.

"Aku boleh marah, kan, Mas?"

Jagad mengangguk. "Maaf, ya. Mas harusnya datang lebih cepat tadi."

"Nanti aku pukul, Dayi," timpal Jaris yang telaten membersihkan dan memberi obat ke telapak tangan Dayita. "Tenang aja, nanti kupukul. Sumpah." Rahangnya mengetat saat mengatakan itu.

Beautiful Dayita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang