"Kenapa diam saja?" Victoria menoleh heran pada Dayita yang duduk di ranjang.
Pagi ini saat masuk ke kamar gadis itu, si wanita sudah menemukan Dayita yang sehat. Wajahnya tidak pucat lagi, meski matanya masih terlihat sayu. Namun, ini lebih baik daripada yang kemarin.
"Aku semalam mimpi, Tante."
Kerutan di antara alis Victoria muncul. "Mimpi apa? Kalau mimpiin orang lain pakai kebaya, katanya orang itu bakal meninggal. Benar, ya?"
Dayita memajukan bibir. "Enggak mimpi seram. Mimpi indah. Aku mimpi Mas Regan di sini. Semalam dia nemenin aku sampai tidur. Di kamar ini." Ia menepuk kasur dengan wajah tak percaya.
Menggeleng saja, Victoria menarik lengan Dayita hingga gadis itu turun dari kasur. Diajaknya berjalan keluar dari kamar, menuruni tangga, lalu ke ruang makan.
"Itu Masmu." Victoria berdiri di belakang si gadis, kemudian berbisik, "Kayaknya kamu masih mimpi."
Wanita itu tertawa, melangkah duluan ke meja makan yang sudah dihuni oleh seluruh anggota keluarga, ditambah Regan.
"Ayo duduk, sarapan," ajaknya pada Dayita.
Masih berdiri di tempatnya, Dayita mengerjap. Perempuan itu tampak bingung beberapa saat, lalu senyum di bibirnya terbit saat sadar kalau yang dialami kemarin bukan mimpi. Kakaknya yang sekarang duduk di samping Om Aron nyata dan bukan halusinasi.
"Kalau kakakmu tidak di sini, biasanya aku mengataimu apa, Dayita?" kata Janu sinis.
"Gila? Bodoh?" sahut Dayita riang. Ia berjalan cepat menuju kursi Regan, kemudian duduk di samping pria itu.
Memegangi lengan Regan, mata Dayita memanas. "Aku, tuh, senaang banget kamu di sini," akunya sungguh.
Regan hanya bisa menatap Dayita penuh sesal. Pekerjaanlah alasan mengapa ia sampai harus meninggalkan adiknya ini. Kalau saja bisa memilih, Regan ingin sekali tetap di samping Dayita terus-terusan.
Adiknya ini malang sekali. Dia sudah tak punya bapak sejak usia sembilan tahun. Sering ia tinggal karena urusan pekerjaan. Belum lagi, Rosa tidak begitu menyayanginya. Karena itu, tiap kali Dayita bersikap manja atau meminta sesuatu, Regan tak pernah marah atau menolak.
"Mari kita sarapan," ajak Aron dengan wajah semringah.
"Terima kasih banyak, Om." Regan memberi senyum tulus.
Aron mengangguk saja. Pria itu memindahkan daging ikan yang sejak tadi ia pisahkan dari tulang ke piringnya Dayita. Seperti kebiasaannya beberapa minggu belakangan.
"Kan, Mas? Orang di sini baik semua," tutur Dayita dengan senyum mengembang. "Aku jadi enggak mau pulang."
"Bohong," bantah Janu. "Dia takut pulang. Seminggu menumpang di apartemenku, dia mimpi buruk terus. Menangis, lalu meminta Ibunya berhenti memukul."
Dayita langsung melotot pada pria itu. "Jangan bohong, Janu!"
"Kamu yang bohong," tuduh Janu tak takut. "Saranku, jangan bawa pulang ke rumah yang ada Ibumu."
Regan mengangguk. "Sedang saya pikirkan, Mas."
Melihat wajah Dayita yang mendadak mendung, Jaris menyenggol lengan gadis itu.
"Aku sama Masmu lebih ganteng siapa?" tanyanya iseng.
Dayita menoleh dengan alis meninggi. "Pertanyaan apa itu?" protesnya tak bisa memilih.
"Jawab aja. Aku sama Masmu lebih ganteng siapa? Mas Regan, ya. Bukan Masmu yang itu." Dagu Jaris menunjuk Jagad yang sejak tadi menikmati sarapan dengan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Dayita
RomanceKabur dari rumah, Dayita menumpang, lalu merecoki hidup tiga bersaudara. Janu, Jagad dan Jaris dianggap Dayita sebagai malaikat yang dikirim untuk sedikit mengobati hati. Tiga pria itu menolongnya tanpa pamrih. Namun, tak Dayita duga ia akan menget...