Jagad memiringkan tubuh. Telentang di kasur sejak setengah jam tadi tak bisa membuatnya lelap. Pria itu menghela napas, memejam kuat-kuat, berharap kantuk segera datang. Namun, lagi-lagi kelopak matanya terbuka.
Lelaki itu mengusap wajah kasar. Berharap sesudah melakukan itu, bayang-bayang saat Dayita menciumnya hilang dari ingatan. Sayang, bukannya sirna, kilasan kejadian ketika ia mencium perempuan itu balik malah menyemarakkan gemuruh aneh di dada.
Ini sudah dua hari berlalu. Namun, semua kejadian itu belum juga pudar dari ingatan. Malah semakin jelas tiap hari. Membuat kepalanya semakin penuh dengan pikiran-pikiran nyeleneh yang menyebabkan fokus berkurang saat bekerja, juga keinginan tidur makin menghilang ketika malam datang.
Jagad bangun dari posisi tidur. Pria itu duduk, menatapi dinding di depan dengan tatapan gusar. Ia bahkan sudah sengaja tak datang ke apartemen Janu selama dua hari belakangan. Niatnya ingin menghindari Dayi beberapa saat, sampai pikiran jernih. Namun, tak melihat perempuan itu malah membuat pikirannya makin kusut.
Lelaki itu meraih ponsel. Dari sana ia tahu sekarang masih pukul sembilan malam. Jagad membuka pesan dari Janu yang ikut ia abaikan dua hari belakangan.
[Dayi minta ketemu. Sudah kularang. Aku tak mau menemani, dia sedang dalam perjalanan ke apartemenmu sekarang.]
Kelopak mata Jagad membola. Pria itu memeriksa waktu pesan itu dikirim. Satu jam lalu. Lalu, kenapa Dayita belum ada di rumahnya?
Jagad menghubungi si kakak. Niatnya ingin memarahi, tetapi belum juga ia bersuara, Janu sudah lebih dulu menyemprot dengan makian.
"Sialan."
Jagad mengerutkan dahi tak suka. "Di mana Dayi?"
"Jemput dia ke bawah. Dia menunggu macam kucing kedinginan di lobi. Aku tak ingin ikut campur urusan perselingkuhan kalian. Aku pulang."
Sambungan telepon dimatikan, Jagad langsung beranjak dari tepian kasur. Kakinya berlari keluar dari unit apartemen, kemudian turun ke lantai satu, tempat yang tadi Janu beritahu.
Saat sudah melihat sosok Dayita, Jagad berdecak kesal. Ia dongkol pada dirinya sendiri. Kalau saja memeriksa pesan Janu lebih awal, sudah pasti Dayita tak menunggu selama ini.
"Kenapa nggak langsung masuk aja?"
Melupakan niat untuk menghindari si gadis, Jagad yang baru sampai di depan Dayita langsung meraih tangan perempuan yang tertunduk itu. Dari jauh tadi ia melihat bagaimana Dayita duduk dengan kedua bahu jatuh, lesu. Gadis itu pasti punya macam-macam pikiran hingga tak berani langsung mendatanginya dan malah menunggu selama satu jam.
"Janu enggak mau nemenin. Kata dia enggak mau terlibat." Dayita memalingkan wajah. Perempuan itu berkedip-kedip demi menguasai suasana hati yang mendadak riuh habis bersitatap dengan Jagad.
"Dia beneran pulang?" Jagad memeriksa sekitar. Benar kakaknya tidak ada di sana. Dayita pun mengamini lewat anggukkan. "Memang bangsat," umpatnya pelan seraya menarik tangan Dayi, lalu mulai berjalan.
"Mas, aku enggak pa-pa datang ke apartemen kamu?" Di belakang mengikuti langkah besar Jagad, Dayita harus berjalan lebih cepat.
"Harusnya naik dari tadi. Kamu pasti capek duduk di situ satu jam."
"Mas bisa enggak jalannya pelan sedikit." Tepat setelah kalimat itu selesai Dayita suarakan, langkahnya tersandung kaki sendiri.
Perempuan itu nyaris jatuh kalau saja Jagad tak gesit berbalik dan menangkap.
"Kan jatuh," sungut Dayita saat dibantu berdiri tegak oleh Jagad. "Mas jalannya cepat banget. Aku harus ngelangkah dua kali baru bisa ngimbangi satu langkahnya Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Dayita
RomantizmKabur dari rumah, Dayita menumpang, lalu merecoki hidup tiga bersaudara. Janu, Jagad dan Jaris dianggap Dayita sebagai malaikat yang dikirim untuk sedikit mengobati hati. Tiga pria itu menolongnya tanpa pamrih. Namun, tak Dayita duga ia akan menget...