Bab 12

170 29 11
                                    

"Perempuan yang tadi kenapa?" Berdua saja dengan Janu di ruang tamu, Jagad menyuarakan rasa ingin tahunya.

Ia memang sudah mendengar alasan Janu tadi, saat tadi pria itu bercerita singkat pada Dayita. Namun, ia masih ingin memastikan.

Alih-alih langsung menjawab pertanyaan adiknya, Janu malah menengok ke arah kamar kecil.

"Si Dayita itu sedang apa di toilet? Kenapa lama sekali? Apa dia tidur di sana?"

Jagad mengulas senyum tipis. Kini tatapannya makin penuh rasa ingin tahu. Namun, bukan soalan kencan buta lagi sebabnya.

"Kamu suka Dayita?"

Janu menaikkan satu alis. "Tidak," jawabnya tenang.

Jagad melempar bantal yang sejak tadi dipangku pada sang kakak. Dibalas pelototan, pria itu tak gentar.

"Nggak suka kenapa dicium? Kalau aku atau Jaris nggak di sini, kamu sering begitu ke dia? Mau kulapor polisi kamu, hah?"

Janu menggeleng santai. Senyum tipisnya terlihat samar. "Salahnya sesumbar mengaku ingin memantaskan diri. Aku hanya sedikit mengerjainya tadi."

"Kamu menyukainya," tebak Jagad. "Jangan sok berkelit. Aku saudaramu, aku tahu caramu bersikap ke dia berbeda."

Janu melirik dengan tatapan menuduh. "Kamu cemburu?"

Jagad melotot. "Kenapa cemburu? Aku malah senang."

Si kakak menyipit sangsi dengan cengiran mengejek. "Aku meragukan itu. Kamu juga jangan sesumbar bisa mengelabuiku. Seperti katamu, kita bersaudara. Hanya Jaris yang benar-benar menganggap Dayita itu adik dan tidak melihatnya sebagai perempuan yang pantas dicium di bibir."

Jagad membuang wajah, berdeham beberapa kali. Janu berdecak sinis menerima respon itu.

"Padahal baunya seperti bayi." Janu menyugar rambut.

"Matanya bisa jadi kecil banget waktu senyum," Jagad menggigit bibir usai menimpali.

"Kakinya kurus."

"Aku pengen gigit jarinya."

Kakak beradik itu saling bertatapan, kemudian serentak buang muka. Bergantian membuat batuk demi mengaburkan atmosfer panas di sekitar mereka.

Janu kembali menoleh ke pintu kamar mandi. "Dayita!" panggilnya keras. "Kamu mau tidur di sana? Keluar sekarang juga!"

Dayita menyahut, "Aku takut! Kamu mau apakan aku? Kenapa tadi dicium? Kamu suka aku, ya? Enggak boleh!"

Jagad mengulum senyum. Takut saja gadis itu masih bisa terdengar menggemaskan.

"Jangan besar kepala. Aku tidak suka kamu. Keluar dari sana sekarang. Aku butuh kencing! Apa aku masuk saja?"

Janu berjalan ke kamar mandi. Tak lama, pintu ruangan itu terbuka. Dayita muncul dengan wajah memerah bak tomat. Mata gadis itu memicing, menantang, tetapi kerjapannya tampak gugup.

"Mau mengintipku kencing?"

Dayita menggeleng. Buru-buru ia melewati Janu, menuju ruang tamu, lalu duduk rapat dengan Jagad. Dipeganginya lengan pria itu erat.

"Mas Jagad, aku takut. Janu mulai gila."

Janu mendengkus di depan pintu kamar kecil. "Kamu kira minta perlindungan padanya adalah jalan keselamatan? Dia lebih gila dariku, Dayita," gumam pria itu dengan sorot sendu di mata, sebelum masuk ke toilet.

Sementara itu, Jagad yang kasihan pada Dayita terpikirkan sesuatu yang mungkin bisa mengalihkan gadis itu dari rasa takut. Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku.

Beautiful Dayita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang