Jagad tahu ada yang lain dari Dayita. Sejak ia masuk rumah sakit, bisa dihitung dengan satu tangan berapa kali perempuan itu menunjukkan wajah. Dayita jarang sekali datang, padahal Jagad sudah sempat menebak kalau gadis manja itu akan berhari-hari ikut menginap di kamar rawatnya, menjaganya dan mungkin ribut menangis karena cemas.
Sudah jarang menjenguk, sekalinya datang perempuan itu malah seolah sengaja menghindar. Terlebih setelah gadis itu memergokinya berciuman dengan Alika di kamar. Dayi nyaris tak pernah menatap matanya ketika mereka bicara.
Lalu, sekarang. Gadis itu jatuh sakit. Kelelahan, kurang tidur dan benar apa kata Mama. Mata Dayita bengkak, seperti orang yang habis menangis lama.
Jagad tahu ini semua aneh. Namun, ia tak bisa menebak apa penyebabnya.
"Kenapa kamu pulang ke sini?"
Suara itu membuat Jagad menoleh ke arah pintu kamar Dayita yang memang ia biarkan terbuka. Pria itu menyipit penuh peringatan agar kakaknya menurunkan volume suara. Jangan sampai Dayita yang sekarang tengah tertidur pulas terganggu.
"Dia memang ringkih. Tidak perlu memasang wajah cemas begitu. Dulu, waktu di apartemenku dia juga sering demam dan sakit perut," tutur Janu sembari memindahkan tatap pada gadis di ranjang.
"Kamu nggak tahu dia kenapa? Mama bilang, dia sering nangis belakangan." Jagad bicara nyaris terdengar seperti berbisik.
Janu mengangkat bahu.
"Apa kakaknya yang kemarin berulah lagi? Tapi, bukannya Mama bilang nggak ada siapa pun yang datang ke sini?"
Adiknya membahas Tamara, Janu langsung memberi lirikan antusias. "Aku dengar, baru saja dengar. Hari di mana kamu kecelakaan, mobil Tamara juga ditabrak. Ditabrak dari belakang."
Jagad melengos, kembali memandangi Dayita.
"Aku dengar dari Jaris." Janu menggaruk daun telinga dengan senyum tipis. "Jaris mana mungkin salah memberi info. Dia, kan, punya mata-mata."
"Diam, Mas. Nanti Dayita bangun."
"Nanti Dayita tahu?"
Jagad menoleh dengan kerutan dalam di dahi. Namun, sedetik kemudian ekspresi wajah pria itu berubah datar dan tenang.
Janu yang melihat itu langsung tersenyum. Pria itu mengusap tengkuk, lalu berkata, "Kamu juga mencekiknya, ya?" Ia beberkan info yang baru kemarin diterima dari si bungsu.
"Masih untung cuma kutabrak dari belakang. Masih untung nggak kucekik sampai mati." Dengan santai mengatakan itu, si lelaki kembali memalingkan wajah pada Dayita.
Si kakak mengangguk-angguk saja. Namun, rasa penasarannya belum tuntas. "Alika mau kamu apakan, Jagad?"
"Nggak usah jauh-jauh mikirnya," elak si adik cepat.
"Aku ragu untuk mengambil sikap, kalau kamu masih belum mau memikirkannya sekarang."
Kali itu raut wajah Jagad berubah pias. Pria itu menunduk sebentar, kemudian menoleh pada Janu. Sorot matanya tajam, berusaha menelisik makna dari ucapan tadi.
"Sejak kecil, kita memang terbiasa suka pada beberapa hal yang sama, 'kan? Aku sempat heran kenapa aku sama sekali tak ingin melirik Alika dulu. Kukira aku sudah tak seperti waktu kecil dulu. Tapi, ternyata salah."
Kalimat itu membawa Jagad pada kenangan ketika ia dan Janu masih kecil. Di mana mereka kerap bertengkar karena punya selera yang sama pada mainan, sepatu atau pakaian dan berebut karenanya.
Usia mereka tidak terpaut lumayan jauh. Janu lebih tua tiga tahun. Namun, beberapa kali, saat Jagad membeli barang seperti sepatu atau pakaian yang dipilih adiknya itu sendiri, bukan dipilihkan Mama, maka Janu juga akan menyukainya dan tak sudi mengalah, bahkan sampai merebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Dayita
عاطفيةKabur dari rumah, Dayita menumpang, lalu merecoki hidup tiga bersaudara. Janu, Jagad dan Jaris dianggap Dayita sebagai malaikat yang dikirim untuk sedikit mengobati hati. Tiga pria itu menolongnya tanpa pamrih. Namun, tak Dayita duga ia akan menget...