6: Never Mine

218 20 10
                                    

Seminggu setelah Salma genap berusia 22 tahun, Fajar mengunjungi Salma di Kos-an. Mereka menonton film "The Virgin Mom" di rooftop Kos-an. Bermodalkan laptop dan sayup-sayup angin malam. Menghabiskan satu setengah jam untuk duduk menyimak adegan demi adegan.

Minggu lalu, Salma belum bisa bertemu dengan kekasihnya itu. Sebab jarak dan kesibukan lagi-lagi jadi halangan. Tidak ada perayaan apapun yang ia buat. Namun kado-kado dari penggemar dan rekan berdatangan. Tiada henti. Kalau dari Fajar? ia juga memberi hadiah. Tapi, bukan itu yang Salma mau sebenarnya. Semua itu tidak ada harganya kalau tidak dibarengi kesetiaan.

"Yang, kenapa dari banyak perempuan didunia ini kamu milihnya aku?," tangan kanannya menyentuh deretan jari Fajar. Menggenggamnya erat, berharap dinginnya malam ini bisa menjadi sedikit hangat.

"Karena kamu yang paling sabar, kamu stay disaat aku terpuruk. Disaat yang lain ninggalin aku. Disaat aku kalah terus-terusan di turnamen, disaat aku dibully karena absen naik podium. Kamu selalu ada dan bikin aku ketawa," Fajar melingkarkan tangannya di bahu Salma, mendekapnya.

Salma memandang langit Jakarta yang dipenuhi bintang-bintang. Berharap ia jadi salah satu diantaranya, bisa menyinari Fajar seutuhnya.

"Sal, bahkan saat waktu itu kamu minta untuk putus, kamu masih sempetin buat nonton aku. Begadang. Jam dua pagi,"

"Kamu tau dari siapa?," ia menoleh kearah pria itu.

"Bu bebby yang bilang,"
"Aku tau juga alasan kenapa kamu minta putus empat bulan yang lalu. Aku paham sal. Kamu belum siap, kamu juga berat buat minta putus. Kamu bener soal : Hidup itu bukan tentang semua yang kita mau, tapi tentang apa yang kita butuhkan. Kamu, yang aku mau buat terus berdampingan sama aku. Kmu juga, orang yang aku butuhkan, Sal. Kamu, orangnya,"

"Aku belajar ketulusan dari kamu. Bahwa hadiah bukan melulu berbentuk barang, tapi juga perhatian,"

Rembulan bulat itu menyaksikan dua muda mudi berdialog. Saling mengutarakan rasa, berbincang soal asa. Jujur, tapi apa sudah sepenuhnya?

"Selama kita pacaran, ada yang kamu sembunyiin dari aku?,"

Fajar memicingkan mata, menggeleng sempurna. Terkejut dengan pertanyaan yang datang tiba-tiba dari kekasihnya.

"Aku boleh minta sesuatu nggak?," tanya Salma pelan.

"Apa?,"

"Kita putus aja, ya?,"
"Demi kebaikan kita masing-masing,"
"Dari awal aku tau, kita memang susah buat sama-sama. Apalagi kamu nggak mau tetap sama aku. Aku udah anggap kamu rumah. Tapi kamu anggap aku kos-kosan,"

Fajar menatap wajah Salma, sorot matanya menandakan ia kecewa dengan permintaan Salma yang satu ini.

"Maksud kamu apa, Yang?," Fajar melepaskan dekapannya, makin dibuat bingung dengan seluruh pernyataan Salma.

"Rony bener. Aku terlalu gegabah jatuh cinta sama kamu. Harusnya aku nggak sepercaya itu sama orang baru. Harusnya waktu itu aku nggak balas dm kamu. Harusnya, kita nggak ketemu di mall. Harusnya aku nggak ajak kamu ke rumahku, ketemu Papah sama Mamah. Harusnya waktu itu pas aku minta putus, kita bener-bener putus. Biar kita nggak terlalu jauh,"

"Kamu ini selalu begini, labil. Apa-apa minta putus. Selesain baik-baik, jangan apa-apa putus. Apa-apa putus!,"

"Iya, aku mungkin labil. Tapi aku enggak pernah berkhianat sedikitpun selama pacaran sama kamu. Mungkin aku yang nggak paham isyarat. Tentang cincin tunangan yang ketinggalan di hotel. Tentang kamu yang tiba-tiba ponselnya di kunci. Tentang notifikasi dari mantan kamu. Harusnya waktu itu aku sadar, aku bukan satu-satunya. Harusnya waktu itu aku terima kenyataan, kamu nggak cukup dengan aku. Enggak cukup, Fajar!,"

Tak ada air mata yang menetes, tak ada penjelasan yang keluar dari mulut Fajar. Iya, benar. Dia melakukan kesalahan fatal, tapi dari mana Salma tau semua ini?

"Rian yang bilang?," nadanya tidak santai, setengah kesal.

"Nggak, nggak ada yang bilang. Aku.... paling anti untuk lihat privasi kamu, terutama dm dan chat di hp kamu. Karena aku yakin sama diriku sendiri. Aku udah memberikan segalanya buat kamu, yang terbaik. Aku pikir itu udah cukup membuat kamu tetap sama aku. Ternyata enggak, itu enggak cukup. Malam itu aku sengaja lihat galeri kamu, iseng aja. Tapi tiba-tiba ada notifikasi dari mantan kamu. Seminggu kemudian setelah aku lihat notifikasi itu, ada orang yang kirim foto kamu sama mantan kamu, ketemuan. Harusnya aku langsung sadar. Tapi aku baru berani bilang sekarang,"

"Sorry, tolong kasih aku kesempatan satu kali lagi, Sal. please..... kita nggak ada apa-apa. Aku sama mantan aku cuma berteman baik aja. Layaknya teman biasa," Fajar buru-buru memeluk tubuh Salma. Yang sedetik kemudian langsung dilepas kasar oleh perempuan itu.

"Maaf ya, aku sibuk banget. Sampe buat kamu jadi cari perhatian dari orang lain. Maaf. Kamu pantas dapat seseorang yang bisa kasih perhatian lebih dari yang aku kasih," Kali ini Salma merelakan segala kenangannya bersama Fajar. Ia sudah memikirkan ini jauh-jauh hari.

Atap kos-kosan itu sepi, meninggalkan Fajar yang termenung sendiri. Entah kenapa lidahnya kelu. Tak bisa membela diri dengan alasan apapun. Lagipula Fajar sudah hafal watak Salma, ia tidak akan mengubah keputusan itu lagi. Dua kali dia minta putus. Kali ini dia serius.


FAJAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang