15: Tetangga

211 23 6
                                    

"Bagus lah kalo lo bangun rumah disini, jadi kalo gue pengin liat lo nggak usah jauh-jauh ke Kos setengah jam. Sekarang tinggal buka jendela aja udah bisa liat bidadari,"

Salma memilih tak menanggapi gombalan buaya itu. Ia masih terkejut dengan fakta kalau Fajar adalah tetangga barunya.

Kok bisa?

Kenapa ikut-ikutan bangun rumah di komplek ini? Eh, bukan ikut-ikutan. Rumah Fajar yang berdiri duluan.

Kalaupun satu komplek, kenapa harus sebelahan banget?

Memangnya nggak ada tempat lain?
Memangnya cuma tersisa tanah ini?
Memangnya Jakarta sesempit itu sampai-sampai harus tetanggaan sama mantan?

Ini gak lucu.

"Mampir yuk, panas kan disini," Fajar melangkah menuju garasi rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mampir yuk, panas kan disini," Fajar melangkah menuju garasi rumahnya. Yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat Salma berdiri. Benar-benar dekat sekali, bersebelahan. Persis.

Salma melangkah gontai, ogah-ogahan. Ya, setidaknya studi banding lah. Mau liat sekeren apa rumah mantannya. Nanti bisa jadi contekan desain untuk rumah barunya.

Fajar mempersilahkan Salma masuk dan duduk di ruang tamu. Rumahnya nyaman, vibes-nya homie. Bersih dan luas. Tapi sayang, 

"Sepi amat," celetuk Salma memecah keheningan.

"Lagi nyari yang buat ngeramein rumah ini. Anak, istri,"

"Carilah sana,"

"Belum dapet,"

Salma berdiri, melihat rak lemari Fajar yang dipenuhi dengan medali emas, perak, perunggu serta trophy bergengsi. Memandangi satu persatu penghargaan itu. Merasa kagum dengan seluruh kerja keras Fajar di dunia bulutangkis. Bertahun-tahun, dipenuhi lika-liku. Jatuh bangun yang tidak mudah. Banyak tantangan banyak hambatan.

"Hebat ya dia," gumam Salma dalam hati.

Fajar ikut mendekat, berdiri di sebelah Salma.

"Mau minum apa?,"

"Enggak usah repot-repot, bentar lagi gue juga balik,"

"Jangan. Lo ikut gue dulu,"

"Kemana?,"

"Udaaah, sini," tangan Fajar menggandeng tangan Salma. Membawanya ke lantai dua melewati belasan anak tangga.

Mereka berdua masuk ke lapangan indoor yang sengaja Fajar buat khusus untuk tempatnya bermain bulu tangkis dan basket.

Basket?
Ya, Fajar memang tidak gemar bermain basket. Tapi dia tau, Salma jagonya. Mantannya itu dulu pandai bermain basket. Lihat saja, perempuan itu tak kuasa menahan semangatnya kalau sudah melihat bola basket. Salma mengambil bola basket dan memasukkannya ke ring yang tergantung.

Masuk!

"Masih jago juga, ya"

Salma tersenyum jumawa.

"Lo kenapa nyediain basket juga? bukannya lo nggak suka, ya?,"

"Buat lo,"

Fajar sengaja menyediakan tempat basket dan segala perlengkapannya. Karena Fajar tau hobi Salma. Itu semua untuk Salma. Sejak rumah mewah ini berdiri, lapangan basket ini sudah disiapkan untuk Salma. Hanya, untuk Salma.

"Eh, badminton yuk," tutur Fajar yang sudah memegang dua raket beserta shuttle kok.

"Nggak bisa gue," tolak Salma yang masih menggiring bola basket. Lihainya dia.

"Pas kita pacaran, rencana badminton date sama Jombang Ribka itu nggak jadi. Sekarang gue pengin main badminton sama lo, boleh kan?,"

Salma berpikir sejenak, lalu mengangguk mengiyakan. Ia meletakkan bola basket yang dari tadi menempel di tangannya. Lalu meraih raket yang sudah Fajar siapkan untuknya.

Sore itu mereka bermain bulu tangkis bersama. Saling tertawa kalau kok-nya menyangkut di net. Salma yang sering error servisnya, sama seperti era-era kegelapan Fajar 2023. Seiring dengan tenggelamnya matahari senja, mereka juga semakin berkeringat. Olahraga kali ini rasanya jadi semangat karena melihat satu sama lain. Mantan yang manis.

Salma terduduk. Menghela nafas yang tersengal-sengal. Ia kalah dalam dua babak. Poin 21-19 untuk Fajar.

Ya, siapa juga yang mampu mengalahkan pemenang medali emas olimpiade itu?

Fajar semakin bersinar. Ia banyak improve pada skill dan performanya dua tahun belakangan ini. Bersama Rian, mereka saling menguatkan dan berjuang lagi dari masa-masa absen podium.

"Jadi lo kapan pindah ke rumah ini?,"

"Bulan ini insyaallah,"

"Udah nggak di asrama lagi?,"

Fajar menggeleng. Tersenyum sedetik kemudian.

"Gue sama Rian mutusin buat jadi pemain profesional. Ngasih kesempatan buat junior-junior di Pelatnas,"

Tangan Salma menepuk bahu bidang Fajar.
"Semangat, gue percaya lo bisa dapetin apa yang lo mau. Trust the process,"

Hati Salma mulai melunak, ia merasakan bahagia ketika melihat senyum terbit di wajah manis Fajar.

"Eh, udah jam enam. Gue ada meeting jam delapan. Gue pulang ya,"

"Makasih buat waktunya, buat semuanya, Sal,"

Salma tersenyum manis, ia diantar turun ke lantai satu oleh Fajar. Mereka harus berpisah.

"Hati-hati!," di garasi rumahnya, Fajar melambaikan tangan sambil kiss bye.

Salma yang sudah berada di depan rumah barunya pun berbalik badan. Mendekati posisi Fajar berdiri.

"Kenapa, ada yang ketinggalan?,"

"Iya, jejak kaki gue, hahaha. Enggak.  Gini tetangga, nanti kalo gue tanya-tanya desain interior ruang tamu lo boleh?,"

"Boleh dong tetangga. DM Aa aja, mau telfon juga bisa. Kapan-kapan ikut room tour deh,"

Mereka tertawa, saling tersipu malu. Merasa nyaman seperti ini. Tak ada dendam, saling merangkul dan memandang ke depan.

"BYE TETANGGA!!!!,"

FAJAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang