7: Menyakitkan

224 17 3
                                    


Pintu kamar itu tertutup rapat. Salma terduduk di lantai. Air matanya mengalir deras membasahi cardigan hijau tuanya. Layaknya hujan yang tiba-tiba turun, berhasil membuat pepohonan rata dengan air.

Ia mengutuk dirinya sendiri dalam hati,

"Kenapa harus dia?"

"Kenapa harus bertemu seseorang seperti Fajar?"

"Bukankah dia orang asing yang tiba-tiba datang, jadi kalau pergi kenapa bisa sesakit ini?,"

"Kenapa?"

"Tuhan, maksudmu apa membiarkanku jatuh sejatuh-jatuhnya pada dia. Maksudmu apa membiarkanku tetap menyayanginya selama ini?"

"Kalau pada akhirnya, dia tetap merasa butuh orang lain selain aku?"

"Kenapa?," Salma menyeka matanya, setengah sembab.

🎵
What if we rewrite the stars?
Say you were made to be mine
Nothing could keep us apart
You'll be the one I was meant to find

It's up to you, and it's up to me
No one could say what we get to be
So why don't we rewrite the stars?
And maybe the world could be ours, tonight
🎵


Lagu rewrite the stars milik James Arthur & Anne Marie terdengar dari ponsel Salma, ia berlari ke arah ranjang. Menangis sampai membasahi seluruh bagian bantal. Masih tanpa suara.

"Katanya, aku tidak perlu bersaing dengan siapapun. Katanya, aku pemenangnya. Bohong!,"

"Semua itu bohong!,"

"Harusnya aku tidak terlalu bodoh soal ini. Harusnya dari awal aku sadar. Aku terlalu sibuk, aku tidak ada waktu lebih banyak untuknya,"

"Tuhan, kenapa kehilangan yang satu ini amat menyakitkan?,"

Salma mengepalkan tangannya erat. Menggigit bibirnya, tak kuasa menahan semua sesak yang datang malam ini. Rasa perihnya bersenandung di atap kamar Kos-nya.

"Kenapa di kehidupan yang satu kali ini, kita nggak bisa bersama?,"

Sudah pukul sebelas malam, perempuan malang itu tidak bisa tidur. Matanya terus terjaga dan berair. Sekarang kepalanya sudah tidak beralaskan bantal lagi. Bantalnya basah sempurna, akibat tetesan air mata.

"Kenapa harus ketemu, kalau bukan dia yang jadi akhir ceritaku?,"

Semakin malam, semakin dalam perasaan berkabung itu hadir. Memeluknya erat-erat, memastikan air matanya tetap memancar.

"Kamu bohong sama Mamah, katanya kamu mau jagain aku,"

"Kamu bohong, katanya kita mau bikin pesta tunangan setelah Mas Kelvin lamaran,"

"Kamu bohong Fajar,"
"Kamu pembohong,"

"Kamu bilang kamu mau ajak aku ke Banda Neira,"

"Kamu bilang kamu mau bawa aku keliling Bandung lagi,"

"Kamu bohong,"

"Kamu nggak nepatin omongan kamu,"

"Kamu bilang aku satu-satunya yang bisa buat kamu ketawa,"

"Kamu bohong, ada orang lain,"

"Orang yang diam-diam merebut posisi aku, porsi aku di hati kamu. Orang yang datang dari masa lalu kamu. Orang yang belum selesai sama kamu,"

"I hate you, Fajar. I hate you,"

"Kenapa harus seindah ini hubungan kita?,"

"Kenapa aku harus buatin kamu lagu lagu kalau akhirnya kamu nggak sama aku?,"

"Emang, semua yang berlebihan itu nggak baik,"

"Semoga sama yang itu, kamu bahagia. Kamu lebih banyak nerima perhatian, kamu lebih banyak dikasih waktu. Enggak kayak aku, yang tiap minggu pergi. Yang enggak bisa selalu ada buat kamu. Semoga dia bisa. Dia bisa nemenin kamu, siang, malam. Saat kamu bangun, saat kamu mau tidur. Jaga diri baik-baik, karena setelah ini aku enggak akan peduli lagi sama semua tentang kamu. Kali ini mungkin aku bakal benci Kota Bandung, aku enggak akan kesana lagi. Mungkin aku akan benci restoran Jepang langganan kita, aku enggak akan makan disana lagi. Iya, es krim matcha? aku enggak mau pesen itu lagi. Semua rasanya terlalu sakit buat dikenang. Selamat Fajar, selamat. Kamu udah buat aku hancur. Lebur,"




FAJAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang