12: Tuan Putri Mandaya

240 21 15
                                    

"Makan," ucap Salma mengubah topik pembicaraan saat pesanan mereka telah diantar ke meja nomor tujuh belas.

"Mamah Majalaya sehat?,"

Dengar. Salma saja masih memanggil Ibu Fajar dengan sebutan Mamah. Lihat? gurat wajah perempuan 24 tahun itu ingin tau kabar keluarga dari Fajar.

"Alhamdulillah sehat. Om Demis, Tante Ita sama Kelvin gimana? sehat?,"

"Sehat. Istri mas kelvin baru lahiran bulan kemarin, pas Ramadhan,"

"Oh ya? selamat ya,"

Kenapa ya?
Rasanya sakit sekali. Melihat kita harus bertanya kabar lagi. Dua tahun itu lama, tapi kenapa aku susah banget menghilangkan semua kenangan kita?

Kenapa ya....
Aku udah berusaha sebaik mungkin untuk ngelupain kamu. Tapi yang ada aku makin keinget sama semua kenangan indah kita.

Gelas yang pecah memang bisa disatuin lagi, Jar. Bisa. Tapi dia nggak utuh seperti semula.

"Sal? dimakan. Keburu dingin ramennya," ucap Paul yang duduk disebelah perempuan manis itu.

Salma mengangguk. Kenapa rasanya jadi awkward seperti ini. Sudahlah, berteman saja seperti biasa. Membangun hubungan baik lagi. Yang berlalu biarkan berlalu.

Paul sejak tadi irit bicara, fokus dengan semangkuk ramen hangat didepannya. Menyeruput kuahnya.

"Lo cantik hari ini, Sal" Fajar melemparkan senyuman ke wajah Salma.

"Emang kapan Salma nggak cantik? dia selalu cantik kali," kali ini Paul berani angkat bicara.

Ya, itu fakta.
Kapan Salma tidak cantik?
Di hari apa?
Tidak pernah ia tidak cantik. Kalaupun pernah, pasti itu karena dia ganteng.

Selesai makan, mereka bertiga kemudian berpencar. Paul dan Salma ada agenda syuting tapping iklan, jadilah mereka pulang berdua menaiki mobil Paul. Sedangkan Fajar seperti biasa, sendirian.

Paul membuka pintu mobil, mempersilahkan tuan putrinya masuk mobil dengan tenang. Salma memberinya senyuman manis, lalu duduk dan memasang seat belt. Menghela nafas dan mulai senyum-senyum tidak jelas.

"Ma,"

"Hmmm,"

"Apa kita nggak usah pura-pura pacaran. Tapi pacaran beneran aja?,"

Salma terkejut mendengar penuturan sahabat prianya itu.

"Gue udah lama suka sama lo, Sal. Lo menyenangkan. Lo buat gue nyaman. Awalnya gue pikir ini rasa nyaman antara sahabat, kayak kakak ke adiknya. Tapi semakin gue denial terhadap perasaan itu, gue semakin nggak tenang, Sal. Sejak kita nonton konser bareng, gue ngerasa ada sesuatu yang beda. Gue jatuh cinta sama lo, Salma. " Paul meraih tangan Salma. Erat.

"Tapi Ul,...."

"Gue ngerti, Salma. Ini pasti buat lo kaget. Tapi gue nggak bisa nyimpen perasaan ini lebih lama lagi. Gue cuma pengin lo tau, kalo gue suka sama lo,"

Salma menelan ludahnya.

"Ul, lo mantannya Nabila. Dan Nabila itu temen gue. Dan lo, sahabat gue. Sahabat baik gue. Dan gue nggak bisa ul, sorry. Gue udah nganggep lo kayak abang gue sendiri. Gue nggak mau kalau kita pacaran dan ujungnya putus, nanti kita bakal asing,"

"Tapi antara gue sama Nabila udah selesai. Dan kita selesai secara baik-baik. Itupun udah lama. Setengah tahun itu waktu yang cukup buat kita bangun hubungan baru lagi. Gue juga nggak mungkin balikan sama Nabila, kita terhalang tembok agama,"

"Lah? Lo pikir Tuhan kita sama Ul? kita juga beda agama ul. Lo lupa?,"
"Lo mabok ya?,"

Paul terdiam, melepaskan genggamannya di tangan Salma.

"Sorry Ul, sorry gue bercanda. Gue beruntung banget punya sahabat kayak lo. Yang bisa gue ajak kemanapun. Yang selalu nemenin gue ngonser. Yang jagain gue. Yang baik sama gue. Tapi lo itu abang gue, Ul. Friendship over Relationship. Persahabatan kita jauh lebih penting dari segalanya,"

"Lagian ya, kalaupun kita pacaran. Mau dibawa kemana hubungan kita? lo liat. Gue yang seagama sama Fajar aja nggak jadi. Kita seiman dan seamin tapi itu aja nggak cukup. Apalagi kita, yang jelas-jelas nggak seiman, Ul. Sorry ya, kita sahabatan aja ya?. Kita masih bisa nonton konser bareng kok, lo masih bisa ke Kos gue. Kita masih bisa sahabatan kayak biasanya. Terima kasih lo udah jujur sama gue tentang apa yang lo rasain selama ini. Tetep jadi sahabat gue ya?,"

Paul tak menjawab dengan kalimat. Tapi ia memberikan Salma anggukan tegas. Ya, selama ini Paul menjadi sahabat terbaik bagi Salma. Melindungi Salma dari hujatan-hujatan haters. Menemani Salma berbelanja. Menjenguk Salma ketika ia masuk rumah sakit karena kelelahan. Menjemputnya di Bandara. Semua. Semua Paul lakukan karena dia sayang terhadap perempuan itu. Termasuk menjadi pacar bohongan di depan Fajar.

Semua Paul lakukan demi Salma. Tuan Putri Mandaya-nya.

"Lo ngomong kaya gitu bukan karena lo jatuh cinta lagi sama Fajar, Sal?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo ngomong kaya gitu bukan karena lo jatuh cinta lagi sama Fajar, Sal?"

Bagaimana ini?
Ada dua pilihan sulit didepan Salma.

Paul adalah sahabat terbaiknya, selalu memahami dirinya. Menemani segala aktivitasnya. Selalu ada 24/7.

Dulu Fajar memang kekasih hatinya, dua tahun yang lalu. Tapi justru Fajar banyak menghilangnya. Susah ditemui. Tidak ada waktu yang banyak bagi Salma.

Paul selama ini ada untuknya. Untuk Salma.

Paul sekarang confess seluruh perasaan yang selama ini ia pendam. Bertahun-tahun sejak mereka mengenal baik satu sama lain. Ia berkata jujur atas perasaannya.

Dan sekarang, Fajar semakin gencar memberi sinyal. Kalau dia masih memungkinkan untuk kembali ke pelukan Salma. Fajar semakin matang secara emosional.

Jadi, semua tergantung Salma. Yang mana yang akan dia pilih. Sulit.










Kalian #TeamPaul atau #TeamFajar guys?
Jawab di kolom komentar ya!!!

FAJAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang