34. Mungkin, Besok Atau Lusa

45 5 0
                                    

Selama tujuh jam di dalam pesawat, Ranza hanya menghabiskan waktu dengan tidur yang sesekali terbangun. Dia tidak bisa tidur nyanyak, dan sekarang matanya kelihatan lelah saat sudah sampai di Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta.

Tepat pada pagi hari tepat pada matahari yang baru saja muncul ke permukaan, kedua wanita serta Ranza telah menginjakan kaki di tanah merah putih. Lelaki itu tidak banyak bicara kali ini, kemana saja kedua wanita itu akan pergi, maka dia akan ikut.

Ketima kakinya melangkah keluar dari pintu bandara, Ranza merasakan udara yang hangat. Seperti yang dia ketahui bahwa Indonesia terletak di tengah garis Khatulistiwa, yang di mana hanya ada dua musim di negara ini. Musim hujan dan musim kemarau.

Karena suhunya berbeda dari Korea, Ranza berinisiatif untuk melepaskan jaketnya. Padahal ini masih pagi tapi dia merasa hangat dengan udaranya. Mereka bertiga berjalan menuju Taksi yang sudah di pesan oleh Rona. Meletakan barang-barang mereka di bagasinya, di bantu oleh pak supir. Setelah semuanya sudah beres barulah mereka masuk ke dalam mobil. Ranza duduk di depan, bersebelahan dengan pak supir.

"Habis terbang dari mana, mas?"

Ranza menoleh ke samping. Mas? Dia tahu panggilan itu artinya Kakak atau Abang untuk laki-laki. Tapi kenapa saat panggilan itu di tunjukan untuknya, rasanya sedikit aneh?

"Dari Korea, Pak." Ranza menjawab sopan.

Pak supir mengangguk. "Pantesan putih, glowing, ganteng, kayak artis-artis kpop gitu muka, Masnya."

Mendengar pujian dari supir taksi, Ranza hanya tertawa pelan merasa malu.

"Udah punya pacar belum, Mas? Saya punya anak gadis, gelis lah pokoknya. Kayaknya cocok sama, Mas."

Di saat itu juga, Ranza membelalak terkejut. Dia terdiam mematung bingung harus menjawab apa dari kalimat pak supir taksi itu barusan. Sedangkan Sunhi dan Rona yang menyaksikan keduanya itu saling bercakap hanya bisa tersenyum, sesekali saling lirik. Mereka mengerti dengan apa yang kedua lelaki itu bicarakan, tapi mereka susah untuk masuk kedalam pembicaraan karena lantaran kurang bisa untuk berkomunikasih dengan bahasa Indonesia.

Taksi yang mereka naiki, kini telah berhenti di sebuah gedung yang menjulang tinggi. Sebuah apartemen bintang lima. Setelah turun dari taksi, Sunhi melangkah menuju meja resepsionis sebentar. Kemudian, mereka bertiga menuju lift untuk sampai ke lantai apartemen yang sudah di sewa oleh Sunhi.

"Kamu istirahat saja sebentar, Sayang. Kita akan menjenguk Mira kerumah sakit sekitar jam sepuluh." Sunhi berkata. Mereka baru saja melangkahkan kaki masuk kedalam apartemen. "Tidak perlu khawatir, Mira baik-baik saja," tangan keriputnya memegang bahu kiri Ranza agar tidak terlalu khawatir.

Ranza tersenyum tipis. "Baik, Halmeoni."

"Sekarang kamu tidur saja di kamar, ya? Istirahat," Perintah Sunhi. Dia tahu betul Cucu laki-lakinya ini kelelahan dan cemas akan keadaan Mira.

Ranza mengangguk mengiyakan. Kemudian menarik kopernya masuk kedalam kamar. Menuruti perintah Sunhi. Dia tidak bisa membangkang sama sekali, dia kesini bersama Sunhi dan Rona. Dan sudah pasti harus menurut apa yang mereka katakan.

°~°~°~°~°

Jam sudah menunjukan pukul sepuluh lewat, Ranza sudah rapi dengan pakaiannya yang jauh lebih tipis. Kaos hitam, celana jeans hitam, dan sepatu sneakers. Untung saja yang menyiapkan pakaiannya adalah Zara, sebagai seorang asli pribumi, Bundanya itu tahu pakaian apa yang cocok untuk di pakai di negara merah putih ini.

Ranza juga sempat melihat ada amplop coklat berisi uang di dalam kopernya. Ternyata, Zara memberikan uang dari gaji paruh waktunya menjadi barista. Juga terdapat surat di dalam amplop itu, bertuliskan: Pakailah uang hasil kerja kerasmu ini, Sayang. Bunda sudah mengambil setengah, dan sudah menjadi hakmu untuk menikmati hasil dari keringatmu sendiri.

SEIRIOS: Because i like it! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang