9

247 24 0
                                    

"Ekhem" Hector mengalihkan perhatian, membuat Licy dan Felix menatap ke arahnya.

Grep..

Licy memeluk Hector dengan erat.

"Thanks" gumam Licy yang tanpa ia sadari air matanya menetes.

Hector mengangguk.

"Thank you, thank you, thank you, thank you" Licy mengeratkan pelukannya.

Ia benar benar berterimakasih kepada Hector yang sudah menjaga adiknya untuk beberapa hari yang lalu, Felix memang sudah besar sudah bisa mengurus dirinya sendiri, tapi tidak bagi Licy, bagi Licy Felix tetaplah adik kecilnya, adik yang harus merasakan semua kasih sayangnya, karena hanya Felix satu satunya yang Licy miliki.

Meski Licy memiliki kehidupan baru dengan berpindah raga, tapi bagi Licy mereka tetap orang asing, dan akan seterusnya seperti itu.

Dan satu lagi, Licy menyimpan rahasia terdalam yang selama ini Felix sembunyikan dari teman temannya, kalian ingin tau?

Felix merupakan pria manja dan manis jika bersama Licy dan Hector, jika tidak bersama mereka, maka Felix akan menjadi pria yang irit bicara.

"Udah jadi kewajiban gua" Hector menepuk pundak Licy.

Grep..

Felix ikut masuk kedalam pelukan.

"Kangen peli" gumam felix yang tentu saja terdengar oleh Hector dan Licy.

"Kita pulang yuk" ajak Licy yang mulai melepaskan pelukannya.

Jauh dari mereka ada brayn yang menatap tidak suka kepada Felix.

"Cih" brayn pergi begitu saja meninggalkan Daddy-nya dan Rafa.

"Brayn" cegah Daddy namun sayang, brayn sudah lebih dulu menancapkan gasnya dan membawa motornya dengan ugal ugalan.

"Gak munafik, gua pengen punya kakak cewe" gumam Sam yang sama seperti brayn menatap iri kearah Felix yang saat ini sedang Licy rapihkan rambutnya.

"Apa kita masih punya kesempatan?" Gumam Daddy.

.

.

.

"Lo harusnya maafin mereka cy"  saran Hector.

Kini mereka bertiga sedang berada di kediaman utama milik Rival, lebih tepatnya mereka sedang berkumpul di kamar Licy.

Licy baru saja menjelaskan semuanya, mulai dari Luciana, masa kecil Luciana hingga hal hal yang baru terjadi hari ini, semuanya tanpa terlewat, tanpa di lebih-lebihkan dan tanpa di kurangi.

"Udah, gua emang gak ada masalah sama keluarga Luciana" jelas Licy.

"Panas ih" keluh Felix yang sedari tadi sedang memainkan game di ponselnya, dengan bersandar pada bahu Licy.

"Smart room" ucap Licy.

Felix mengangguk.

"Siapa?" Tanya Felix.

"Peter" jawab Licy.

"Peter nyalain AC" perintah Felix.

Tak lama dari itu, AC di kamar Licy menyala dengan sendirinya.

"AI" Hector memutar bola matanya malas, Licy itu benar benar pemalas, saking malasnya ia lebih memilih untuk membuat AI nya sendiri, agar bisa ia suruh dengan sesuka hati.

Ya kalian tidak salah baca, Licy benar bener membuatnya tentu saja ia tidak membuat AI nya sendiri, ia membuatnya dengan bantuan beberapa temannya.

"Ngomongin AI tau gak sih kalian, katanya pakar AI lagi ngadain uji coba buat bikin otak manusia biar bisa di baca sama data komputer, gila gak sih"

"Oh iya iya tau, tapi katanya emang bisa bang, ada alat khususnya gitu, tapi menurut gua yang lebih serem dan gila itu AGI Lo tau kan, katanya sistem jenis itu bisa punya pikiran sendiri, meskipun mereka bukan manusia" 

"Itu konsekuensi nya sih, kaya gini deh teknologi itu pasti ada perubahan kan? Nah yang bikin beda itu teknologi selalu berkembang tiap hari, bahkan tiap menit mungkin kedengaran gila, tapi emang iya" jelas Licy.

"Buktinya sekarang, liat aja Vcorp perusahaanya makin gede makin berkembang setelah mereka keluarin produk robot yang bentuknya persis manusia, tapi cuma robot sih bukan AGI"

"Syukurnya itu di luar negri, dan lebih syukur lagi di negri ini gak ada yang begitu" gumam Felix.

"Bukan gak ada Lix, belum" koreksi Hector.

Sedari tadi Hector memang mendengarkan percakapan mereka, namun fokusnya tertuju pada ponsel yang mana sedang melihat rekan rekannya yang memberikan laporan misi.

"Lucu banget gak sih, ada buronan internasional kabur, dan katanya sekarang lagi nyamar, gak tau jadi apa, ada beberapa team yang di kirim kesini buat nyamar, biar bisa menangkap buronan itu"

"Abang juga?" Tanya Felix.

Hector mengangkat bahunya acuh.

"Tunggu perintah aja" jawab Licy.

Tok.. tok..

Pintu kamar di ketuk, tak lama kemudian di buka tampaklah rival yang sedang menatap mereka dengan intens.

"Felix?" Panggil ayah.

Felix menatap ayah dengan datar.

"Usia kamu berapa?" Tanya ayah.

Felix menoleh ke arah lain, ia tidak suka dengan ayah barunya, baginya ayah barunya adalah sosok yang berpotensi besar untuk merebut kasih sayang kakaknya.

"Mau sama kaya peli pokoknya" Jawabnya tanpa menoleh.

Ayah terkekeh, kemudian mengacak rambut Felix gemas.

"Yaudah, ayah urus semuanya hari ini, mulai besok kamu sekolah kaya Licy, cuma sebulan kok"

"Okey" jawab Felix yang masih memalingkan wajahnya.

"Kamu" kini ayah menolehkan pandangannya, yang tadinya menatap lembut ke arah Felix kini menatap tajam ke arah Hector.

"Jangan sampai membuat anak gadis saya menangis" tegasnya.

"Apaan sih yah" kesal Licy yang merasa namanya di bawa bawa.

"Udah, 2 jam lagi turun, makan malam"

Setelah mengatakan itu ayah pergi begitu saja.

Licy menatap Hector dengan tatapan meledek, sementara Hector melirik Felix yang sepertinya sedang menyembunyikan wajahnya.

"Lo harus percaya sama dia, 15 tahun ini dia diem diem jagain Luciana tapa ada yang tau, termasuk Luciana sendiri"

Licy mengusap lembut rambut Felix.

.

.

.

Prang...

Brak..

Prang..

Didalam sebuah kamar yang sangat gelap, brayn terus melempar semua benda yang ada dalam jangkauannya, ia sudah melakukan itu sejak satu jam yang lalu.

Melampiaskan amarnya, rasa cemburunya, hingga rasa kecewanya pada dirinya sendiri.

"Maafin brayn" lirihnya dengan terisak.

Di luar kamar Bryan ada Rafa yang duduk bersandar di tembok dengan memijit keningnya, sama seperti Bryan Rafa juga sama hancurnya, sama kecewanya, sama sama menyesal bahkan rasa penyesalan Rafa lebih dari apa yang Brayn rasakan sekarang.

"Sorry" lirihnya Keuda mata Rafa sudah membengkak.

Ia menangis sedari tadi.











Hay Hay Hay......

Someone only we know (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang