Bab 2

2.7K 176 2
                                    

Telunjuknya bergulir sesaat kemudian berhenti kala layar tabletnya menampilkan profil perusahaan yang akan dia temui hari ini. Sebuah perusahaan yang sedang berkembang, yang konon katanya digawangi oleh orang-orang berusia tidak jauh darinya. Satu sudut bibirnya terangkat, ada secercah keyakinan kalau rencananya akan berjalan sempurna. Setidaknya, ini adalah langkah yang mesti dia tempuh demi memuaskan sang pelopor perusahaan di mana ia mendulang rupiah sekarang.

Suara dering ponsel yang tergeletak di meja membuat Akar memalingkan pandangan. Diletakkannya tablet di atas meja kemudian diambilnya ponsel warna hitam yang nyaring suaranya.

"Ya?" katanya.

"Selamat pagi, Pak. Hari ini penerbangan pukul tujuh tiga puluh ke Semarang. Apakah bapak mau dijemput?" Suara seorang wanita terdengar di telinga dari seberang sana.

"Nggak perlu, saya diantar Pak Sulis saja. Kamu pastikan semua sudah siap, ya. Kita bertemu di bandara," ujar Akar kemudian memutus sambungan teleponnya.

"Semarang?" Suara berat tapi terdengar agak bergetar mendekat. Akar mendongak melihat seorang pria tua berjalan dari pintu kerja dengan tongkat di tangan.

"Iya," jawab Akar, singkat. Pria itu memutar bangku hingga membelakangi Candra Tenggara, kakeknya. Di antara kesibukannya mempersiapkan beberapa perlengkapan yang akan ia bawa ke Semarang, helaan napas berat Candra Tenggara terdengar di telinga.

"Bagus. Kakek akan selalu mendukungmu untuk memajukan perusahaan. Berangkat saja sekarang, jangan sampai terlambat. Buat angka penjualan kita makin besar," kata Candra, menopangkan kedua tangan ke ujung tongkat kayu berpelitur coklatnya. "Jawa Tengah, lalu Jawa Barat. Kamu benar-benar lebih cekatan dibanding papamu."

"Aku berangkat." Akar berdiri kemudian berjalan tanpa melihat sang kakek yang tidak terdengar beralih dari bangku di depan meja kerjanya.

***

Suasana hatinya memang sedang tidak menentu. Bukan karena pekerjaan yang memang menyita banyak pikiran, tapi karena perjalanan bisnis kali ini ibarat upaya bunuh diri. Bukan karena kota itu adalah kota asing yang mengharuskannya membuka Google Maps atau Waze saat hendak melanjutkan perjalanan menuju lokasi pertemuan. Justru karena kota itu begitu lekat dalam ingatan. Setiap titik dan ruas jalan yang begitu terpancang di benaknya. Semarang dan setiap detail kenangannya, yang tidak akan pernah bisa dia lupa. Entah bagaimana ia bisa lupa, karena kota ini begitu berkesan. Bukan sekadar kota tempat ia menimba ilmu semata. Kota ini pernah membuatnya hidup, bahkan lebih merasa hidup dibanding ketika ia berada di Surabaya bersama keluarga lengkap dengan kemewahan yang disodorkan kepadanya.

Akar menutup matanya, menyandarkan kepala di bangku penumpang belakang begitu ia memasuki mobil yang akan membawanya dari Bandar Udara Internasional Jenderal Ahmad Yani menuju ke hotel tempat dia menginap yang juga tempat di mana dua perusahaan akan bertemu untuk membicarakan kerja sama.

Sejenak dia ingin menghilangkan kerisauan yang sedari kemarin menyempil minta diluapkan. Ia tak memedulikan ocehan Faisal yang menunjukkan sudut-sudut kota yang mereka lewati kepada Laura. Kalau bisa, Akar hanya ingin diam tanpa mendengar celetukan timnya soal kota Semarang yang berubah lebih indah dipandang mata ketimbang tujuh tahun yang lalu.

Ya. Tujuh tahun yang lalu, Akar pun pernah merasakan kota Semarang yang berbeda. Tujuh tahun yang lalu, ia pernah pergi tanpa pamit, tetapi kini dia harus menyeret pantatnya sendiri untuk datang seolah permisi dengan keadaan buruk yang pernah ia torehkan. Soal berdamai dengan hatinya sendiri.

Selama perjalanan Akar hanya diam. Ia tak bisa tidur sejak tadi malam, bahkan kini ia tak lagi memejamkan karena suara-suara berisik yang terdengar entah bersumber dari otaknya, atau memang Faisal yang tak juga diam sedari Bandara Juanda. Ia menghela napas, lalu mengambil gawainya. Jemarinya naik turun di layar nyala. Ia mencoba mengabaikan kerisauan yang menyandera pikiran warasnya dengan memeriksa beberapa berkas dan pekerjaan yang dia tinggalkan. Mengecek email dan memantau grup manajemen PT. Goldy kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres di Surabaya.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang