Bab 32

1.3K 89 10
                                    

Air menoleh ke pintu ketika Banyu tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya tanpa mengetuk lebih dulu. Perempuan itu melongo ketika kakak laki-lakinya itu langsung merebahkan diri di atas ranjang.

"Mas Banyu apa-apaan, sih?" sembur Air, seraya berdiri dari bangku meja rias lalu berjalan ke pintu dan menutupnya lagi. "Kalau masak kamar orang itu ketuk dulu, kek, permisi, kek. Enggak asal nyelonong seenaknya."

"Kowe balikan sama Akar?" Banyu bangkit, lalu duduk di tepi ranjang. Memandang Air yang membola matanya mendengar pertanyaan barusan.

Air membalik badan, menghadap ke cermin. Tangannya sibuk memindah perawatan mukanya dari satu tempat ke tempat lain tanpa suara. Entah dari mana Banyu mengetahui info itu. Padahal sejak dia dan Akar memutuskan untuk mencoba lagi sebulan yang lalu, tidak ada satu orang pun yang tahu. Belum. Air memilih untuk menjalani hubungan dengan Akar diam-diam bahkan dari keluarganya sekalipun. Apalagi kalau bukan karena alasan masa lalu.

"Ibu sama Bapak ngerti?" tanya Banyu lagi.

Perempuan itu menatap Banyu dari cermin di depan. Sorot mata banyu tidak terbaca. Seketika, Air jadi ragu antara mengaku atau tetap menutupi hubungannya dengan Akar.

"Piye?" desak Banyu.

Air menoleh. "Info dari mana aku balikan sama Mas Akar?"

"Aku kemarin ke Graha Padma, bantu teman cari rumah buat nasabahnya. Enggak sengaja lihat Akar lagi ngobrol sama orang di depan rumahnya. Dia minta aku mampir."

"Mas Akar ngomong apa memangnya sama Mas Banyu?" Air mengambil botol toner di depannya, lalu memainkan membuka-tutup tutupnya.

"Akar enggak ngomong apa-apa." Nada Banyu seperti berjeda. Sontak Air membalik badan hingga bisa bertatapan dengan kakak laki-lakinya.

"Nah! Terus Mas Banyu bisa nuduh aku balikan sama Mas Akar dasarnya apa?" dedas Air.

"Anaknya." Banyu bersedekap, lalu memandang Air lurus-lurus. "Anaknya tanya, 'Tante Baik kapan ke sini lagi, Pa'?"

Tenggorokan Air tiba-tiba terasa kering. Ia melipat bibirnya lalu kembali memalingkan muka.

"Aku bukannya ikut campur sama masalah pribadimu, tapi kowe ngerti dewe, kan, Akar—"

"Ngerti," potong Air. "Aku ngerti Mas Akar itu duda, sudah punya anak satu. Keluarganya beda kayak kita. Terus ...." Air menghela napas panjang sebelum kembali bicara. "Terus hubungan kami dulu juga pisahnya enggak baik."

Perempuan itu kemudian berpindah tempat dari bangku meja rias ke sebelah Banyu. Ditatapnya Banyu lekat-lekat. "Bapak sama Ibu belum tahu kalau aku sama Mas Akar balikan. Beberapa kali aku ke rumahnya pun aku enggak bilang yang sebenarnya. Soalnya aku takut Bapak sama Ibu enggak setuju."

"Memangnya kamu wis coba ngomong sama Ibu?" tanya Banyu lagi.

Air menggeleng. "Pas Mas Akar sama Nami pulang habis nginep di sini, Ibu tanya soal Mas Mada. Ibu bilang, jangan sampai Mas Mada salah paham. Kita baik sama Mas Akar karena memang sudah seharusnya kita baik sama orang lain. Sebatas itu. Terus pas Bapak pulang, ketemu sama Mas Akar, aku ngerasa sikap Bapak jadi beda. Enggak kayak dulu."

"Yo, jelas. Wong anake dilarani, kok. Kowe ki piye." Banyu menghela napas, lalu kembali merebahkan diri di ranjang Air, berbantal kedua tangannya. "Aku paham sama sikap Bapak-Ibu. Sing aku ora paham justru keputusanmu."

Air mengangkat satu kakinya ke atas ranjang biar bisa kembali berhadapan dengan Banyu yang rebahan. "Mas Akar ngomong enggak bakal mengulangi kesalahan yang sama kayak dulu, Mas. Dia ngomong dia serius tenan sama aku."

"Nek serius kudune ngomong Bapak-Ibu to, ya. Bukan malah meneng-menengan. Keluarga kita itu terbiasa terbuka, loh, Ir. Bapak sama Ibu malah ora seneng nek kalian mumpet-mumpet ngene," tegur Banyu. "Misal Ibu atau Bapak ngerti dari pihak lain ... lhaiske."

"Mas!" Air balik memukul Banyu dengan gulingnya. "Ojo meden-medeni."

Sambil tertawa, Banyu kembali bangkit dari rebahnya. Pria itu kemudian mengusap rambut adiknya. Setelah tawa mereka mereda. Banyu kembali bicara. "Kasusmu angel, Ir. Kalau inget cerita Akar soal perjodohannya sama Almarhum istrinya, aku bisa menilai keluarganya Akar agak susah menerima. Belum lagi restu Bapak sama Ibu. Mereka itu memang baik banget sama orang, tapi pasti enggak rela anaknya menderita. Apalagi sejarahmu sama Akar kayak begitu. Orangtua kita itu bukan orang yang silau sama harta, walaupun Akar nyodorin emas berton-ton, mereka belum tentu ngasih restu kedua kalinya."

Air mengangguk. Senyuman tipis diukir paksa di wajahnya. "Makanya aku belum berani bilang sama Bapak sama Ibu. Aku sama Mas Akar mau coba lagi, mengusahakan lagi biar apa yang dipingin bener-bener bisa kejadian."

Banyu kemudian menghela napas panjang. "Ya, wis. Kamu wis gede. Aku percaya kamu tahu konsekuensi dari setiap keputusanmu."

"Iyo, Mas." Air mengangkat dua jempolnya. Sesaat kemudian, dia melingkarkan tangan ke leher Banyu. Perempuan itu berbisik, "Terus, kenalin ke mbak-mbak rambut panjang kemeja hijau yang kemarin, dong, Mas."

Sepersekian detik, Banyu menoleh, lalu melepaskan diri dari rangkulan Air. "Mbak-mbak rambut panjang? Sopo?"

"Halah, pura-pura." Air menyeringai. "Aku, loh, lihat di story Instagramnya Mas Bowo kemarin. Kamu ketok lagi duduk berdua sama Mbak Rambut Panjang. Ngaku apa tak bilangin Ibu?"

Banyu mengangkat tangannya dari serangan Air, pria itu tampak bersusah payah menutupi muka merahnya. Air pantang menyerah meski Banyu masih malu-malu. Perempuan itu baru kemudian membiarkan kakaknya keluar dari kamar setelah menceritakan soal sosok yang tengah dekat dengannya. Tepat saat raga Banyu hilang di balik pintu, Air termangu.

Mas Banyu benar. Hubungannya dengan Akar kali ini akan lebih sulit dari sebelum-sebelumnya.

***

Asap putih yang diembuskannya menggulung di udara, menemani Akar memandang langit gelap tanpa bintang dari balkon tempat tinggalnya. Matanya tidak bisa memejam, meski ini sudah lewat pukul dua belas malam. Pikirannya gelayaran ke kedatangan Banyu kemarin.

Obrolan yang tak lebih dari satu jam itu kemudian seperti menggantung beberapa senti di depan kepala. Membuatnya tidak bisa berpaling meski dia berupaya untuk berkonsentrasi kepada hal lain. Obrolan soal hubungannya dengan Air, tentu saja. Ditambah dengan "ancaman" Banyu, kalau-kalau Akar kembali menyakiti adik kesayangannya.

Pria itu kembali mengisap rokok yang terapit di jemari tangan kanan. Pertanyaan Banyu kembali berdengung di telinga.

"Kamu yakin kalau kejadian tujuh tahun yang lalu enggak bakal terulang lagi sekarang? Kamu sama kami ini beda, Kar. Kami ini orang enggak punya. Kalau keluargamu pasti bisa menerima Air, harusnya sejak dulu kamu enggak perlu kabur dan menutupi apa yang terjadi."

"Kamu serius sama adikku? Datang dengan jantan ke bapak dan ibuku. Tapi sebagai konco, aku mesti ngasih peringatan. Bapak sama ibuku itu memang maafin kamu, tapi soal restu? Enggak bakal segampang dulu."

Akar tentu masih ingat pula ucapan Ibu saat dia dan Nami menginap di sana semalam.

Sekarang ibu rasa, dia sudah mulai menerima hidup barunya. Kamu juga sudah punya kehidupan sendiri.

Dia bukannya tidak mengerti maksud Ibu, apalagi saat itu Air sedang menemui seorang pria, yang jelas-jelas sedang berupaya masuk ke kehidupan kekasihnya. Setelah apa yang terjadi pada mereka, setelah kebohongan dan kesalahan yang dia torehkan menyobek kepercayaan keluarga itu, tentu Akar tahu diri. Namun, perasaannya tidak bisa lagi diungkiri. Dia mencintai Air, dan dia bertekat akan mengupayakan segalanya buat terus bersama kekasihnya.

Akar berbalik ke meja, lalu mematikan rokoknya. Satu sudut bibirnya terangkat. Dia mendengkus ketika menyadari halangan dan rintangan besar di depan seperti dua badai yang berbaris siap menerjangnya.

Akar meraih kotak rokok, tapi rupanya sudah tidak ada lagi isinya. Rahangnya mengetat, diremasnya kotak berwarna merah dan putih itu. "Cuma boleh gagal satu kali. Jangan jadi pecundang lagi."

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang