Bab 43

1.3K 93 3
                                    

Angin malam yang berhembus memasuki kamar menyentuh pipi Air, mengeringkan jalan air matanya yang sedari tadi basah. Tak lagi ada kata-kata terucap darinya. Begitu juga dengan Akar. Pria itu kini terdiam bersamanya, duduk di sebelah Air dan memandang ke arah luar balkon. Keduanya larut dalam pikirannya masing-masing sejak beberapa menit yang lalu.

"Om Fendi menemuimu?" tanya Akar, pandangannya menerawang.

Setelah beribu asumsi dan teori yang berkembang di otaknya dalam waktu singkat, sangkanya tertuju kepada salah satu orang yang ia percaya. Tidak ada lagi manusia selain Fendi yang menurut Akar berdaya membuat Air memutuskan hal seperti ini.

Air menunduk, menyeka air mata yang kembali lolos dengan tangan kanannya. Ia melirik ke samping, ke jemari Akar yang terkepal. Pria itu mengambil napas panjang, dan ketika ia angkat bicara, suaranya dipenuhi rasa kekecewaan dan amarah yang mendominasi.

"Aku bisa menebak soal apa yang ia bilang." Akar mendengkus.

Ia berdiri menuju ke pintu balkon. Umpatan terlontar dari mulutnya. Ia meraup wajahnya dengan kedua tangan, kemudian berlutut di depan Air. Kedua tangannya menggenggam jemari perempuan itu, "Air, lihat aku−"

"Aku tahu semuanya." Air terisak memandang wajah Akar yang kian kalut.

"Kamu harusnya ingat kalau kamu pernah pergi gitu saja karena menikah dengan mamanya Nami yang begitu sesuai dengan kamu dan keluargamu. Walaupun awalnya aku merasa sakit hati, tapi aku mencoba memahami posisimu." Air menatap Akar tajam.

"Beberapa tahun kemudian, kamu datang lagi, membawa perasaan yang sama, meminta hal yang sama. Tapi kamu lupa, kalau ada permasalahan besar yang sebenarnya sejak dulu tidak pernah kamu selesaikan. Hanya kamu tutupi. Enggak pernah kamu bicarakan sama aku, sampai kemudian aku mendengarnya dari orang lain."

"Aku selalu percaya sama kamu. Selalu. Sampai-sampai setiap kali ada pikiran buruk tentang kamu, aku bisa menolak itu."

Ia melepas cincin yang masih melingkar di jari manis tangan kirinya. "Sebenarnya, sejak kamu cerita soal perjodohan waktu itu, aku mencoba berpikir kalau kamu tidak bisa mengelak karena itu sudah ditentukan sama keluarga kalian. Aku selalu mencoba berpikir sepositif mungkin meskipun sebenarnya ada sesuatu yang kayak ... bikin aku enggak tenang. Tapi bodohnya aku, aku malah enggak mencoba untuk tahu lebih jauh lagi. Karena aku percaya sama kamu. Terlalu percaya sama perasaan kamu. Terlalu naif kalau perbedaan kita tidak sebegitunya karena kamu bilang kamu tidak akan pernah mengulangi hal yang sama. Tapi kamu lupa, kalau aku juga harus tahu posisiku saat ini. Aku harus tahu masalah ini, bukan terus ditutupi begini." Air menyeka kembali air matanya, tersenyum getir memandang Akar.

"Mungkin karena aku yang terlalu sayang sama kamu dan Nami, sampai-sampai aku jadi enggak lagi ingat sama siapa aku ini, siapa kalian, dengan perbedaan yang begitu mencolok. Aku mungkin akan nekat, kalau masalah yang di hadapan kita ini berbeda. Tapi ini soal restu keluarga. Sesuatu yang besar, yang mutlak, dan sayangnya ... yang kamu tutupi dari aku selama ini."

Air menggeleng. Ia meletakkan cincin yang sudah terlepas dari jemari tangan kirinya.

"Apa pun alasanmu menutupi itu, bentengnya terlalu besar buat kita. Aku sudah terlalu kesulitan buat percaya. Aku mundur saja."

Air berjalan keluar menuju pintu kamar dengan langkah besar-besar. Keputusan sudah ia tentukan. Ia tak menghiraukan rasa sakit yang kian sesak. Cincin yang baru dipakainya belum lama, ia tinggalkan bersama pemberinya.

***

Kehidupan memang tidak selalu segaris dengan kehendak pemainnya. Mungkin itu yang menjadikan rasa kecewa dan patah hati hingga seperti merobek jiwa, dan tak jarang berdampak pada fisik yang tampak indra.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang