Bab 17

1.7K 125 10
                                    

Karena masih libur, aku tambah satu bab, ya, teman-teman. Selamat Tahun Baru 2024! Semoga apa yang diharapkan di tahun baru nanti tercapai semua. Tahun baru, semangat baru, sehat selalu, dan bahagia terus. Amin. ^^



Kalau bukan karena Faisal yang gagal mendapat nomor telepon Air, tentu Akar tidak akan memaksakan diri untuk menunggui Air keluar dari kantornya berjam-jam Sabtu kemarin. Keinginannya untuk bertemu dan menjelaskan banyak hal kepada Air rasanya tidak terbendung lagi, terutama setelah melihat tatapan heran dan kaget Air kepada Nami kala pertemuan tak sengajanya beberapa waktu yang lalu. Pada pertemuan kembali di minimarket barusan, Akar boleh saja sedikit tenang, karena raut muka Air sudah tidak sekaget awal pertemuan mereka. Bahkan, yang mengherankan, Nami mau mencoba berinteraksi dengan perempuan itu. Entah karena kesepian sampai-sampai Nami kini mulai mencari perhatian dari orang-orang sekitar, atau memang ada sesuatu pada diri Air yang membuat Nami menunjukkan sikap yang berbeda.

Usai menidurkan Nami di kamarnya sendiri, Akar melangkah masuk ke ruangan pribadinya. Ia melepaskan jam tangan, menaruh dompet, dan ponsel di atas meja kerja yang terdapat di dalam kamarnya, lalu duduk di atas kasur empuk.

Cincin yang melingkar di jari manis tangan kanannya, jadi titik yang ia amati sedari tadi. Benda yang mengingatkannya soal pernikahannya dengan Vanya dulu. Cincin emas putih polos yang melekat di jarinya sejak dipasangkan oleh Vanya saat pemberkatan nikah mereka itu tidak pernah ia lepas meskipun Vanya telah tiada sejak beberapa tahun yang lalu.

Akar enggan melepas cincin pernikahannya lantaran ia memang sengaja menutup rapat-rapat akses para wanita yang mencoba mendekatinya setelah kepergian Vanya. Pernikahannya dengan Vanya yang tak pernah dilandasi oleh cinta membuat Akar sama sekali tak berpikir untuk mengulangi kesalahan yang sama. Apalagi, kini ada satu sosok yang tak bisa diabaikan, Nami.

Menurut Akar, pernikahan kedua mustahil terjadi jika tanpa melewati "persetujuan" Nami. Gadis kecilnya adalah benteng terluar, sekaligus gerbang yang sulit sekali ditembus. Jika Nami tak menyukai orang yang mendekat kepadanya, tentu saja dengan mudah Akar akan mengucapkan selamat tinggal bagi wanita yang mencoba dekat kepadanya. Dia tak perlu repot-repot menolak dengan berbagai alasan konyol, karena penerimaan Nami adalah mutlak.

Ditatapnya cincin di jari manis tangan kanannya, kemudian dengan perlahan, Akar memutar benda yang melingkar itu. Benda yang bertahun-tahun jadi tanda diamnya selama ini dilepasnya dari jemari, meninggalkan belang putih di sana.

Pria itu membuka laci di nakas samping ranjangnya, menaruh cincin itu di atas kotak jam tangan. Ditatapnya lekat-lekat.

"Nya, aku bukan mau melupakan kamu. Mana bisa aku lupa, kita punya Nami. Tapi kali ini, boleh, ya, aku melanjutkan hidupku?" katanya. Akar menghela napas panjang, lalu menutup laci itu.

Akar mengusap kasar wajahnya, menelisik diri, apa sebenarnya yang diinginkan semesta untuk hidupnya saat ini. Sejak lima tahun yang lalu, arah dan tujuan hidupnya untuk Nami. Tidak ada hal lain yang ia tuju selain kebahagiaan anaknya itu. Sungguh, Nami adalah hidup dan segalanya. Namun, apa dengan dia saja benar-benar cukup bagi mereka?

Bayangan Air terlintas lagi di pikirannya. Puing-puing kenangan manis mereka merangsek, menghamburkan beragam emosi dalam diri. Keterkejutannya masih sama atas peristiwa tadi, memantik kerinduan yang malu-malu hadir lagi. Namun, rasa bersalahnya lebih besar di antara perasaan baik di benaknya.

Akar memandang jari manis tangan kanannya. Sekelebat tanya mampir di pikiran. Apakah Air sudah memiliki seseorang di hidupnya?

***

Air berjalan keluar kantor, menuju ke mobil yang menunggunya di depan pagar. Mesin mobil itu menyala ketika Air mengetuk kaca. Seseorang yang berada di dalamnya membuka pintu penumpang depan dari dalam.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang