Bab 8

2K 127 0
                                    

Air membalik tubuhnya dari miring ke kiri kemudian ke kanan. Matanya sulit terpejam padahal tadi dia merasa begitu mengantuk. Sebesar apa pun usahanya terpejam, mulai dari membaca jurnal penelitian soal formulasi ransum, mendengarkan lagu-lagu pengantar tidur, hingga mencoba menghitung domba, kantuk tak juga datang.

Pada akhirnya, Air bangkit, lalu duduk di tengah kasur. Digapainya ponsel yang tadi dia lempar ke dekat kaki. Ia mengetuk salah satu pemberitahuan kolom percakapan yang masuk ke ponselnya. Satu nomor asing yang menyita perhatian, dibuka Air tanpa ragu.

 Satu nomor asing yang menyita perhatian, dibuka Air tanpa ragu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Air mengetuk profil Whatsapp Mada. Ia ingin melihat foto apa yang Mada pasang sebagai profilnya. Foto seorang pria dengan latar belakang pegunungan. Air mengetuk tanda keluar, kemudian meletakkan ponsel ke tempatnya semula. Memandang langit-langit kamar, Air berpikir, Mada adalah pria yang tampaknya baik dan−tak diungkiri−juga menarik. Namun, entah kenapa dia tidak juga merasakan percikan-percikan rasa yang berbeda buat Mada, selain firasat kalau pria ini adalah pria baik-baik.

Mungkin belum, toh baru bertemu satu kali.

Alih-alih merebahkan diri kembali, Air malah menyibakkan selimut tipisnya, lalu bergerak menuju lemari pakaian dua pintu di sudut kamarnya. Usai membuka sisi pintu dengan kaca panjang, Air berjongkok di depan lemari. Tangan kanannya mengangkat tumpukan seprei dan bed cover, sedangkan tangan kirinya meraih sebuah kotak yang tidak terlalu tebal seukuran buku tulis. Tanpa menutup kembali lemarinya, Air membawa kotak itu ke atas kasur. Sedikit ragu, Air memejamkan mata, tangannya membuka tutup kotak berwarna toska. Ketika kedua tangannya sudah menyentuh beberapa benda, Air membuka matanya perlahan.

Air menghirup udara panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Ketika ia merasa siap, ia mulai mengeluarkan satu per satu isi dalam kotak itu. Pertama, ia mengambil beberapa kertas yang terlipat menyerupai burung dan hati. Kemudian, gerakan tangannya berhenti ketika matanya menatap satu benda di kotak itu. Sebuah foto dengan robekan yang sengaja disatukan dengan selotip. Napasnya tercekat ketika melihat foto di mana dia dan Akar sedang tersenyum lebar. Sesaat, foto itu menarik kembali ingatannya, kenangan saat-saat masih bersama Akar.

Air ingat betul, momen itu ketika mereka berfoto di Titik Nol Jogja. Dia ingat, mereka nekat berkendara memakai sepeda motor Supra milik Akar berbekal uang seratus ribu saja.

Air memalingkan pandangannya ke arah jendela. Seketika otaknya berupaya merangkum berbagai informasi yang sejak kemarin masuk ke otak. Bagaimana bisa seorang Akar yang jarang sekali mengantongi uang lebih dari seratus ribu kini menjadi seorang direktur sebuah perusahaan? Kalau dia memang sungguh berasal dari keluarga berada, kenapa selama ini dia mengenalkan dirinya dengan pribadi yang berbeda?

Air meletakkan fotonya dan Akar, kemudian mengambil secarik kertas berwarna merah dari dalam kotak.

Mata Air mengembun kala menyelesaikan tulisan yang dia baca. Tulisan Akar tentang ucapan selamat ulang tahun bagi dia yang ke dua puluh dua. Ungkapan cinta dan harapan Akar soal masa depan Air dan hubungan mereka.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang