Bab 46

1.4K 91 0
                                    

Kondisi Nami semakin membaik, hingga akhirnya dokter memperbolehkannya untuk pulang di hari kelima. Tepat di hari di mana Air mesti pulang ke Semarang. Perempuan itu membantu Akar mengemasi barang-barang Nami, lalu ikut mereka pulang ke kediaman Tenggara, tak begitu jauh dari rumah sakit, di Surabaya barat.

Napasnya tertahan kala mobil Akar membelok ke sebuah rumah besar, dengan tembok pembatas berlapis batu pualam yang menjulang tinggi. Sesaat kemudian, pagar kayu yang dikelilingi besi legam nan angkuh terbuka, dan mobil yang ditumpanginya masuk.

"Mbak Air, apa kabar?" Mbok Asih berjalan tergopoh-gopoh menyambut mereka. Senyumannya semringah, begitu melihat Air keluar dari mobil.

"Baik, Mbok. Maaf, ya, aku enggak sempat beli oleh-oleh buat Mbok Asih sama Pak Sulis," sesal Air. Mbok Asih mengiyakan ucapan Air, sembari membawa tas besar milik Nami, kemudian mendahului Air masuk ke dalam rumah.

Memandang area depan rumah tempat tinggal Akar, kepercayaan dirinya makin menciut. Ia menoleh ke garasi yang terbuka di depan mobil Akar, Tiga buah mobil mahal terparkir di dalamnya.

"Yuk, masuk." Akar tersenyum, lalu menunduk memandang Nami. Ibarat mendapat persetujuan, gadis cilik itu meraih jemari Air, lalu menggandengnya juga. Mereka bertiga berjalan bersama, memasuki pintu kayu tinggi.

Air duduk di sofa panjang beludru warna abu-abu di ruang tengah, menunggu Akar yang pamit ke kamar sebentar. Televisi layar datar super besar di depan jendela kaca ber-frame aluminium mahal yang menampilkan taman dan kolam renang panjang di sisi belakang. Rasanya segala sesuatu di rumah ini memang didesain menyesuaikan ukuran ruangan yang memang begitu luas. Semakin ia memindai detail rumah ini, semakin ia menyadari bahwa alasan keluarga Akar tak menyetujui hubungannya bukanlah omong kosong belaka. Perbedaan mereka terlalu mencolok. Ia semakin kecil, dan hubungannya dengan Akar adalah muskil.

"Akar di mana?"

Air menoleh ketika Kakek Candra memandangnya dari dekat pintu berpelitur hitam, yang ia yakini adalah sebuah kamar atau ruangan. Ia berdiri, lalu menganggukkan kepala menyapa, "Mas Akar sedang ke kamarnya, Pak," jawabnya, sopan.

"Bisa ikut saya ke belakang?" Kakek Candra berjalan menuju pintu kaca, yang memisahkan ruangan tengah dengan taman belakang.

Air berkedip, takjub dengan apa yang ia dengar barusan. Rasanya, jantungnya seperti meluncur ke telapak kaki. Pria penuh wibawa, yang tampak keras dan begitu dingin itu memintanya mengikuti dia. Debaran jantung Air sudah tak perlu diragukan lagi, begitu cepat. Ia melangkah ragu, memandang punggung pria sepuh yang masih tampak kuat itu. Air menjaga jarak beberapa meter di belakang Kakek Candra. Meski sudah senja, aura dominasinya masih terasa begitu kuat. Pantas kalau semua anggota keluarga begitu menurutinya.

***

Yang Akar tahu, jalannya tidak akan pernah mudah. Kendati ia telah memetakan rencana sejak lama, kendati ia telah memeras otak dan bekerja lebih gila hampir dua tahun belakangan ini, ia tidak bisa menafikan perusahaan kakeknya dan perusahaan serupa yang lebih besar lainnya. Namun, tekatnya telah bulat. Ia percaya pedangnya lebih tajam ketimbang ketakutan. Sungguh, ia siap berperang.

Tabungannya lebih dari cukup untuk sekadar memulai hidup. Nami tidak akan kesusahan, pun dengan Air. Kakek Candra? Akar yakin sudah lebih prima dari kemarin-kemarin untuk menerima pemberitahuannya. Apalagi Akar sudah memberikan semacam trailer kecil saat di rumah sakit waktu itu.

Dengan langkah tegap, ia menuju ke ruangan Fendi. Setelah mengetuk tiga kali, Akar membuka pintu itu dan masuk dengan senyuman.

"Selamat siang, Pak Fendi," sapa Akar.

Fendi otomatis memalingkan pandangan dari laptopnya, kemudian menurunkan kacamata baca. "Ah, Kar. Kebetulan. Om mau ngobrol sama kamu soal margin pakan. Harga jagung naik lagi. Harga DOC—"

"Tahan, Om," potong Akar. Pria itu duduk di bangku di depan Fendi, lalu menyodorkan sebuah surat bermaterai.

Dahi Fendi berkerut sembari menarik surat itu. "Apa ini?"

"Aku mau mundur dari Goldy."

***

"Kamu gila, Kar?!" Gebrakan tangan Fira di meja, mata yang nyalang memerah, rupanya sama sekali tidak membuat Akar gentar. Pria itu malah tersenyum, seraya mengeluarkan sebuah brosur dari laci mejanya.

"Kalau Mama bingung mau ke mana, aku bisa pesankan ruangan di sini. Katanya ada ruangan VIP. Mama enggak akan kesepian karena banyak opa dan oma yang tinggal juga di sana," ucap Akar. "Aku biayai setiap tahun. Aku janji rajin datang sama anak dan istriku nanti."

"Akar!" Air mata Fira luruh. "Kurang ajar kamu, ya! Dasar anak durhaka!"

Kali ini Akar berdiri. Ia sungguh tidak setuju dengan pernyataan ibunya itu. "Durhaka? Aku yang sejak kecil sudah menuruti apa mau mama, bahkan menikah dengan orang yang ditentukan keluarga itu durhaka? Aku cuma satu kali merasa sebagai manusia dan bukan robotnya keluarga Tenggara cuma saat aku hidup sendirian di Semarang! Apa mama tahu?! Apa mama tahu sebahagia apa aku di sana?!"

"Kar, sudah." Fendi menarik Akar, sedangkan Amel menenangkan Fira.

Dua pria itu berjalan keluar dari ruangan kerja Akar di kediaman Tenggara menuju ke halaman belakang. Kendati ia sudah mencoba menahannya, perseteruan dengan perempuan yang telah melahirkannya tetap saja menyulut emosi. Ia pun merogoh korek dan rokok dari kantung celananya.

"Om rasa, mamamu enggak akan semarah itu ..." Fendi menoleh ke Akar. "kalau kamu enggak pakai acara menyodorkan brosur panti jompo."

"Aku lebih prefer mama di sana ketimbang di rumah sendirian kalau ancaman Kakek yang membuat kami harus angkat kaki dari rumah ini benar." Akar menyesap rokoknya, lalu mengembuskan asap putih ke depan. "Wismanula di Salatiga itu panti jompo bintang lima, Om. Jangan menganggap panti jompo itu menyedihkan dan kedurhakaan seorang anak. Aku sudah survei segalanya. Lokasinya di kaki gunung, fasilitas seperti hotel mahal, tenaga kesehatan lengkap dan bersertifikat. Ada dokter dan terapis yang selalu stand by, dan yang penting, mama punya banyak teman sosialita seusianya karena biaya tinggal di sana enggak murah. Mama terjamin aman di sana."

"Tapi tetap saja, mama kamu itu pasti akan stres hidup begitu. Jauh dari teman-temannya. Apalagi setelah apa yang dia rencanakan dan inginkan enggak tercapai." Fendi menghela napas panjang. "Om cuma khawatir sama mama dan kakek kamu."

"Kalau enggak khawatir, Om enggak akan nekat nemui Air di Semarang." Akar menoleh ke Fendi. "Om tahu, dari dulu aku enggak pernah bisa marah sama Om Fendi. Waktu keluarga memaksakan pernikahanku dengan Vanya, aku kira Om netral dan cenderung di pihakku. Tapi kali ini jujur saja aku kecewa. Dan sialnya, aku tetap enggak bisa benci sama Om."

Akar mematikan rokoknya, kemudian duduk di bangku kayu panjang. "Kalau aku keluar dari Goldy, Om yang akan jadi direktur. Om juga yang mungkin akan diwarisi saham Goldy. Bukan aku."

Fendi menyakukan kedua tangannya ke kantung celana depan. "Lantas?"

Akar merentangkan tangan. "Sekarang waktunya."

"Enggak." Fendi menggeleng. "Om pernah kepikiran begitu ketika papamu meninggal dan kamu menolak perjodohan itu. Tapi kepikiran bukan berarti mengamini dan melakukan apa pun berdasar pikiran buruk itu. Apa yang om dapat sekarang, ya, inilah hak om. Apa yang punyamu, itu hak kamu. Om enggak berhak memiliki apa yang seharusnya milik kamu."

"Om bercanda." Akar mendengkus. Jelas, siapa yang tidak mau diberikan jabatan mentereng dan saham perusahaan? Namun, rupanya tidak ada raut muka bercanda di wajah Fendi.

"Sebenarnya apa yang kamu mau, Kar?"

"Aku cuma minta tolong jangan intervensi apa pun keputusan dan hidupku lagi, Om. Aku mau menikah." Akar menatap Fendi lurus-lurus. "Sama Air."

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang