Bab 20

1.7K 126 0
                                    

Perlu waktu yang agak lama bagi Akar untuk menidurkan Nami di akhir pekan seperti ini. Karena mungkin saja bagi Nami, akhir pekan adalah waktunya untuk bersama sang papa. Tidak peduli seberapa lelahnya, dia tidak akan mau tidur lebih cepat dibanding hari-hari biasa. Semakin besar, Nami semakin tahu apa yang ia mau, dan tak pernah segan mengutarakan atau menunjukkannya lewat perilaku.

Meski begitu, Nami tetaplah Nami, yang kerap tertidur beberapa menit begitu ia duduk di bangku mobil. Seperti kali ini, ia lelap di bangku penumpang, padahal ia merengek minta pergi ke rumah Air untuk bertemu dengan teman barunya itu.

Selama ini, Akar selalu tahu permintaan Nami tidak lebih dari sekadar buku atau makanan atau mainan atau pergi bermain dengan teman sebayanya. Namun, permintaan kali ini sangat mengejutkan. Gadis kecil itu meminta Akar menjemput Air untuk bermain bersama mereka. Nami bilang, dia ingin mewarnai dengan ditemani lagi dengan Air.

Sungguh, Akar sudah berupaya merayu Nami agar meminta hal lain saja. Sayangnya, Nami mewarisi keras kepalanya Vanya, atau mungkin lima kali lipatnya? Akar kepayahan menolak permintaan putri tunggal mereka.

Tanpa mengabari Air sebelum berangkat, akhirnya Akar menuruti apa yang diminta anaknya. Namun, bukannya masuk untuk menanyakan keberadaan Air ketika sampai di depan rumah, Akar justru melewati bangunan itu begitu melihat Ibu sedang menyapu teras.

Nyalinya menciut ketika melihat Ibu. Dia belum siap menghadapi keluarga Air, dengan Nami bersamanya. Bukan karena malu karena memiliki Nami, tapi Akar masih belum siap memandang wajah Ibu kalau-kalau menyiratkan kekecewaan dan sakit hati atas perbuatannya dulu.

"Mana rumah Tante Baik, Pa?" tanya Nami mengamati deretan rumah dengan mata berbinar.

"Itu." Akar menunjuk rumah Air begitu melewati.

"Nik, main ke toko buku dulu, yuk? Atau papa belikan es krim, sambil kita tunggu Tante Air angkat telepon Papa?" rayu Akar mencoba mengalihkan perhatian Nami.

"Sama Tante Baik juga?" tanya Nami.

Menghela napas, Akar mencoba setenang mungkin menghadapi anaknya. Membelokkan mobil kembali ke jalan raya, Akar diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Nami yang dia yakini akan berbuntut pada pertanyaan-pertanyaan lain tentang Air.

"Tante Baik belum angkat telepon papa. Kita makan es krim berdua saja, ya." Tak menghiraukan Nami yang memberengut sembari membuang muka ke jendela, Akar melajukan mobilnya ke salah satu pusat perbelanjaan, lima belas menit dari rumah Air.

Tante baik. Akar menggeleng dengan tingkah laku anaknya itu.

"Nik, kenapa Tante Air kamu panggil Tante Baik?" tanya Akar, mencoba mengalihkan marahnya Nami.

"Karena tantenya baik. Kata Tante Baik, dia mau jadi temen nonik, Pa."

Akar tersenyum mendengar penuturan Nami. Secarik kelegaan terbit di hatinya. Pikirannya berkelana ke masa-masa di mana mereka masih bersama.

"Iya, Nik. Tante Air memang orang yang baik." Akar menoleh sepintas ke Nami yang kini bermain dengan boneka kesayangannya. "Tante baik."

***

Nami sudah kelelahan usai menjajal beberapa wahana di area permainan. Ia tampak begitu menikmati dessert kesukaan yang dipesankan Akar untuknya.

"Lagi?" tanya Akar, sembari mengelap bibir Nami dengan tisu.

Sesekali, Akar memandang ponsel yang ia geletakkan di meja. Layarnya mati, belum menunjukkan tanda-tanda pesan masuk dari Air. Padahal, ia sudah mengirim pesan sejak hampir dua jam yang lalu.

"Papa, are you Ok?" tanya Nami memiringkan kepalanya.

"Ya, Sayang. Papa boleh minta es krimnya sedikit?" Akar merendahkan tubuhnya hampir menempel ke meja, Akar merayu Nami agar mau menyuapinya es krim.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang